Peran Dewan Pengawas Syariah Terhadap Kegiatan pada Bank Syariah

Fungsi dan Peran DPS dalam perbankan syariah sangat berhubungan kuat dengan  manajemen resiko perbankan syariah, yaitu resiko reputasi, yang memungkinkan adanya dampak pada resiko lainnya, seperti resiko likuiditas. Pelanggaran  syariah complience yang dibiarkan DPS atau luput dari pengawasan DPS, jelas akan merusak citra dan kredibilitas bank syariah di mata masyarakat, sehingga dapat menurunkan kepercayaan masyarakat kepada bank syariah yang bersangkutan.Untuk itulah peran DPS di bank syariah harus benar-benar dioptimalkan, kualifikasi menjadi  DPS harus diperketat,   dan formalisasi perannya harus diwujudkan di bank syariah tersebut.

Peranan Dewan Pengawas Syari’ah sangat strategis dalam penerapan prinsip syariah di lembaga perbankan syariah. Menurut Surat Keputusan DSN MUI  No.Kep-98/MUI/III/2001 tentang Susunan Pengurus DSN MUI Masa Bhakti Th. 2000-2005  bahwa DSN memberikan tugas kepada DPS untuk :

(1) Melakukan pengawasan secara periodik pada lembaga keuangan syariah,

(2) Mengajukan usul-usul pengembangan lembaga keuangan syariah kepada pimpinan lembaga yang bersangkutan dan kepada DSN

(3) Melaporkan perkembangan produk dan operasional lembaga keuangan syariah yang diawasinya kepada DSN sekurang-kurangnya dua kali dalam satu tahun anggaran

(4) Merumuskan permasalahan yang memerlukan pembahasan dengan DSN.

Untuk menjalankan tugas-tugas tersebut, seorang DPH haruslah memenuhi kualifikasi tertentu. Bukan kanya orang yang mengerti ilmu keuangan perbankan namun juga tidak hanya mengerti hokum syar’I seperti ulama dan cendekia muslim pada umumnya. Dengan demikian, seorang DPS harus mengerti dan memahami ekonomi dan sistem perbankan secara hukum, juga hukum-hukum financial melaui berbagai fatwa Syariah.

Namun fakta di lapangan ditemukan bahwa pengangkatan DPS bukan didasarkan pada keilmuannya, maka sudah bisa dipastikan, fungsi pengawasan DPS tidak optimal, akibatnya penyimpangan dan praktek syariah menjadi hal yang mungkin dan sering terjadi.

Harus diakui, bahwa perbankan syariah sangat rentan terhadap kesalahan-kesalahan yang bersifat syar’i. Tuntutan target, tingkat keuntungan yang lebih baik, serta penilaian kinerja pada setiap cabang bank syari’ah, yang masih dominan  didasarkan atas kinerja keuangan, akan dapat mendorong kacab dan praktisi untuk melanggar ketentuan syari’ah. Hal ini akan semakin rentan terjadi pada bank syari’ah dengan tingkat pengawasan syariah yang rendah. Oleh karenanya, tidak heran, jika masih banyak ditemukannya pelanggaran aspek syari’ah yang dilakukan  oleh lembaga-lembaga perbankan syariah, khususnya perbankan yang konversi ke syariah atau membuka unit usaha syariah.

Yang juga mengherankan lagi adalah, sering kali kasus-kasus yang menyimpang dari syariah Islam di bank syari’ah, lebih dahulu diketahui oleh Bank Indonesia daripada oleh DPS, sehingga DPS baru mengetahui adanya penyimpangan syari’ah  setelah mendapat informasi dari Bank Indonesia. Demikianlah lemahnya pengawasan DPS di bank-bank syari’ah. Bank syariah harus menyadari bila mereka sering mengabaikan kepatuhan prinsip syariah, mereka akan menghadapi risiko reputasi (reputation-risk) yang bermuara pada kekecewaan masyarakat dan sekaligus merusak citra lembaga perbankan syari’ah.

Bank Indonesia selalu menyampaikan banyaknya indikasi pelanggaran syari’ah yang dilakukan oleh lembaga perbankan syari’ah dalam praktek operasionalnya. (Bisnis Indonesia, 12/2/04). Deputi Gubernur Bank Indonesia Maulana Ibrahim mengatakan, “Dari indikator pengawasan dan pemeriksaan yang dilaporkan Bank Indonesia, masih ditemui berbagai sistem operasional bank syariah yang belum sesuai dengan prinsip kepatuhan pada nilai-nilai syariah,” . Hal itu diungkapkannya dalam seminar bertajuk Prospek Perbankan Syariah Pasca-Fatwa MUI, di Jakarta, 10 Pebruari 2004.

Melihat fenomena tidak syari’ahnya bank syari’ah tersebut, sampai-sampai Ketua Umum Asosiasi Bank Syariah Indonesia (Asbisindo), Wahyu Dwi Agung mengatakan Bank Indonesia seharusnya segera meluruskan pihak manajemen bank syariah terkait. (Bisnis Indonesia, 12/2/04)

Peringatan serupa kembali disampaikan Maulana Ibrahim, dalam Simposium Nasional Ekonomi Islami di Malang yang langsung saya hadiri. Deputi Gubernur BI itu  dalam orasinya ia menuliskan,” Sejak dini Dewan Pengawas Syari’ah (DPS)  dan pengawas bank syari’ah, harus meluruskan penyimpangan-penyimpangan yang terjadi di bank syari’ah. Hal ini penting  agar bank syari’ah tidak menjadi bank yang bermasalah. Khusus terhadap prinsip-prinsip syari’ah, bankir syari’ah harus sepenuhnya konsisten terhadap penerapan prinsip-prinsip syari’ah, karena umumnya di dunia ini kegagalan bank syari’ah dapat terjadi, karena ketidak-konsistenan dalam menjalankan prinsip syari’ah”.(28/5/05)

Maulana Ibrahim selanjutnya mengatakan, bahwa peran DPS sangat menentukan dalam mengawasi operasi bank syari’ah  agar tetap memenuhi prinsip-prinsip syari’ah. DPS harus secara aktif dan rutin melakukan pengawasan terhadap bank syari’ah.

Secara kasat mata dan dari beberapa diskusi yang dilakukan dengan beberapa praktisi perbankan syariah didapatkan kesimpulan bahwa, tugas dan fungsi yang telah di atur oleh DSN tersebut belum berjalan sebagaimana mestinya. Terkadang ada DPS yang mengunjungi Bank Syariah hanya satu kali dalam sebulan, ada juga yang hanya bisa dihubungi via telepon. Karena kesibukan mereka di dunia luar, fungsi-fungsi yang harusnya dijalankan tidak bisa dilaksanakan.

DPS hanya dijadikan sebagai objek pelengkap pada sebuah institusi perbankan syariah sehingga struktur yang telah ada bisa terisi dengan baik. Jika hal ini terus dibiarkan, mau dibawa kemana industri perbankan syariah ini kedepan?.

DPS malas-malasan menerapkan tugas dan fungsinya, sedangkan manajemen bank juga tidak memaksimalkan peran dari DPS. Saya pernah berpikiran cukup ekstrim dengan peran DPS ini, “Apakah honor yang mereka terima dari Bank Syariah bisa mereka ambil walaupun tidak melakukan tugas dengan benar, atau bisa dikatakan mereka memakan gaji buta saja”. Dengan pemahaman tentang agama yang cukup komprehensif seharusnya para DPS bisa mengilhami “Bayarlah upah sebelum keringat tersebut mengering”, apakah mereka pernah mengeluarkan keringat dengan pekerjaan mereka tersebut? (Honor seorang DPS cukup besar, karena posisinya yang berada setara dengan fungsi Komisaris ataupun Dewan Pengawas Bank)

Selain masalah tugas dan peran, DPS juga mempunyai tanggung jawab dan komitmen untuk mengembangkan keuangan syariah tersebut dalam artian luas, baik untuk Bank Syariah yang mereka awasi dan juga untuk pengembangan ekonomi syariah di daerah tersebut.

Sehingga bisa dikatakan bahwa, DPS yang menjabat di sebuah Bank Syariah (yang pada umumnya adalah ulama) minimal menyampaikan materi-materi keuangan syariah dalam setiap dakwah dan pengajian yang dilakukannya. Tapi apa yang terjadi, dari pantauan saya dan beberapa informasi dari rekan-rekan dilapangan, ternyata masih banyak DPS yang kurang menjajakan produk syariah sebagai salah satu jargon dakwahnya.

Kondisi yang terjadi saat ini, kalau ada Lembaga Keuangan Syariah (LKS) yang baru berdiri, untuk pemilihan DPSnya pastilah akan merujuk kepada daftar Anggota MUI ataupun Buya-buya Kondang di daerahnya. Apakah hanya itu referensi yang bisa dipakai untuk mencari orang-orang yang akan mengawasi operasional LKS. Saya pikir masih banyak orang-orang yang konsen dengan ekonomi syariah dan benar-benar komit untuk mengembangkan hal tersebut. Akan tetapi mereka dibatasi gerak karena mereka bukanlah seorang ulama atau buya kondang.

Penulis pernah berdiskusi dengan beberapa orang akademisi yang sering menjadi narasumber pada materi yang berkaitan dengan keuangan syariah. Mereka terkadang miris melihat kondisi Perbankan Syariah yang terkesan berjalan tanpa bimbingan maksimal dari DPS, sehingga ada kondisi try and error yang dilakukan guna membentuk sebuah inovasi baru dalam hal dagangan syariah.

Dewan Syariah Nasional sudah seharusnya menertibkan DPS-nya, jangan hanya bisa mengeluarkan Fatwa tapi juga bisa menertibkan orang-orang yang telah mereka tunjuk dan mereka beri sertifikasi sebagai perpanjangan tangannya. Sudah sepatutnya DSN dan DPS berangkulan tangan dengan manajemen Bank Syariah guna menggerakkan perekonomian berbasis Syariah dengan lebih sinergy dan kerjasama yang lebih baik serta kompak.

Perbankan Syariah jangan dijadikan barang jualan, jangan dipolitisasi, dan jangan hanya jadi kebutuhan agama. Akan tetapi jadikanlah Perbankan Syariah sebagai solusi tepat untuk membangun sistem keuangan yang lebih komprehensif dan sebagai sistem keuangan yang bisa memperbaiki kemerosotan perekonomian makro yang ada di Indonesia.

  Sebagaimana disebut di atas, bahwa DPS harus menguasai fiqh mumalah bersama perangkatnya (ilmu ushul fiqh, qawa’id fiqh, tafsir dan hadits ekonomi), juga harus menguasai ilmu ekonomi keuangan dan perbankan Islam modern. Tapi kenyataannnya persyaratan tersebut sangat sulit diwujudkan, karena kita kekurangan ulama yang memahami kedua disiplin keilmuan tersebut sekaligus.

 

 Fenomena itu tidak saja di Indonesia, tetapi juga di luar negeri. Majid Dawood, CEO Yasaar, sebuah lembaga konsultasi untuk DPS, juga mengakui terjadi kekurangan jumlah ulama yang memahami fikih muamalah dan  ekonomi keuangan modern. Seorang DPS bank syariah misalnya,  harus mengetahui konsep dan mekanisme operasional perbankan syari’ah, struktur dan terminologi bank dan LKS, legal documentation, mengatahui dasar-dasar akuntansi sehingga bisa membaca laporan keuangan, dan tentu saja pemahaman yang baik tentang fikih muamalah.

Karena itu Yasaar sebagai lembaga yang khusus menangani shariah board mulai merekrut ulama muda potensial yang menguasai ilmu ekonomi, keuangan. Dengan ilmu yang integral tersebut pengawasan bisa lebih optimal dan mereka bisa merumuskan, menetapkan serta pembuatan fatwa hukum ekonomi syari’ah.

Di Indonesia, ulama muda potensial dapat direkrut di program Doktor Ekonomi Ekonomi Islam yang mulai tumbuh dan berkembang di berbagai Perguruan Tinggi. Keunggulan mereka ini adalah dikarenakan mereka memiliki dua keahlian keilmuan sekaligus, yaitu  pertama, fiqih mumalah, ushul fiqh, qawaid fiqh serta ayat dan hadits ekonomi dan kedua, mereka juga mengerti tentang praktek perbankan dan LKS yang disertai bekal ilmu ekonomi keuangan modern, sehingga mereka bisa melakukan pengawasan dengan baik, bukan sekedar pajangan kharisma.

Tugas ke-4 : Informasi Keuangan dan Penjelasan

LAPORAN KEUANGAN BANK

Laporan keuangan adalah catatan informasi keuangan suatu bank pada suatu periode akuntansi yang dapat digunakan untuk menggambarkan kinerja bank tersebut. Laporan keuangan bank adalah bagian dari proses pelaporan keuangan.
Pada umumnya laporan keuangan bank terdiri dari neraca dan perhitungan rugi laba serta laporan perubahan modal, dimana neraca menggambarkan jumlah aktiva, hutang dan modal dari suatu perusahaan pada tanggal tertentu, sedangkan laporan rugi laba memperlihatkan hasil- hasil yang telah dicapai oleh bank serta biaya yang terjadi selama periode tertentu dan laporan perubahan modal menunjukan sumber dan penggunaan atau alasan-alasan yang menyebabkan perubahan modal perusahaan.

KOMPONEN LAPORAN KEUANGAN BANK
1. Neraca
Neraca adalah bagian dari laporan keuangan suatu entitas yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menunjukkan posisi keuangan entitas tersebut pada akhir periode tersebut. Neraca terdiri dari tiga unsur, yaitu aset, liabilitas, dan ekuitas.

2 . Laporan Laba Rugi
Laporan laba rugi adalah bagian dari laporan keuangan suatu perusahaan yang dihasilkan pada suatu periode akuntansi yang menjabarkan unsur-unsur pendapatan dan beban perusahaan sehingga menghasilkan suatu laba (atau rugi) bersih.
Unsur-unsur laporan laporan laba rugi biasanya terdiri dari:
• Pendapatan dari penjualan
o Dikurangi Beban pokok penjualan
• Laba/rugi kotor
o Dikurangi Beban usaha
• Laba/rugi usaha
o Ditambah atau dikurangi Penghaslan/beban lain
• Laba/rugi sebelum pajak
o Dikurangi Beban pajak
• Laba/rugi bersih

3. Laporan Kuantitas Aktiva Produktif
Laporan kuantitas aktiva produktif adalah penanaman dana bank dalam bentuk pembiayaan, surat berharga, penyertaan, dan penanaman lain untuk memperoleh penghasilan

4. Ratio Keuangan
rasio keuangan adalah perbandingan antara dua/kelompok data laporan keuangan dalam satu periode tertentu, data tersebut bisa antar data dari neraca dan data laporan laba rugi. Tujuannya adalah memberi gambaran kelemahan dan kemampuan finansial perusahaan dari tahun ketahun.

Analisis Laporan Keuangan Bank Syariah dapat didownload di sini

Tugas ke-2 Kompetensi SDM Bank Syariah

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Alhamdulillah untuk tugas kedua ini saya mencoba untuk menulis lebih baik daripada tugas pengantar manajemen pertama yang mengenai perkembangan peraturan Perbankan Islam. Untuk itu saya mohon kembali koreksi dari Pak Gita Danupranata agar saya dapat menulis lebih baik lagi di kemudian hari.

Langsung saja dari soal pertama,  mengenai apa saja karakter personal untuk menjadi SDM yang kompeten dalam bidang perbankan syariah. Menurut saya dari beberapa sumber yang saya baca, karakter/identitas pertama yang harus dan wajib dimiliki SDM Bank Syariah adalah Beragama Islam. Beragama Islam itu bukan berarti hanya mengucap dua kalimat syahadat dan menampilakan kata “ISLAM” dalam kartu identitasnya, namun juga berakhlak mulia seperti yang diajarkan Rasulullah SAW. Rasulullah pun memiliki 4 karakterisik utama yang tentunya sudah kita ketahui, yaitu Shidiq, Amanah, Tabligh, dan Fathonah. Keempat karakter tersebut juga merupakan karakteristik yang harus ada dalam SDM Perbankan Syariah. Berikut pengertiannya:

Shidiq yang menggambarkan kejujuran sangat dibutuhkan untuk membangun sinergi antara nasabah dan mitra kerja. Bagaimana jadinya seorang yang bekerja di perbankan syariah tanpa memiliki sifat shidiq, pasti nasabah pun tidak akan percaya pada benk tersebut dan tidak akan menginvestasikan kekayaan di bank tersebut.

Amanah menggambarkan integritas yang dibutuhkan untuk meyakinkan masyarakat bahwa dananya dikelolaa secara benar.

Tabligh menggambarkan kemampuan komunikasi yang baik dan hubungan personal dan leadership.

Fathonah menggambarkan kompetensi kerja dalam menjalankan tugas dan kewajibannya.

Ada pula skill yang harus ada dalam karakter perbankan syariah, yaitu

–          Soft skill adalah kemampuan bersosialisai/berinteraksi dengan orang lain.

–          Hard skill adalah kemampuan yang bersifat akademik.

–          Practical skill adalah kemampuan untuk menerapakan ilmu yang dimilikinya

Sebagai tambahan, selain keempat karakter tersebut  ada beberapa kompetensi  yang dibutuhkan untuk bersaing di dunia Ekonomi Syariah, yaitu

Functional Competency
Kemampuan SDM yang berkaitan dengan background dan keahlian dasar di bidang ekonomi syariah, operasional bisnis syariah, administrasi keuangan syariah, dan analisa keuangan syariah. SDM Perbankan Syariah juga perlu untuk:

•         Memahami nilai-nilai moral dalam aplikasi fikih muamalah/ekonomi syariah

•         Memahami konsep dan tujuan ekonomi Syariah

•         Memahami konsep dan aplikasi transaksi-transaksi (akad) dalam muamalah ekonomi syariah

•         Mengenal & memahami mekanisme kerja lembaga ekonomi/ keuangan/perbankan/bisnis syariah

•         Mengetahui & memahami mekanisme kerja dan interaksi lembaga-lembaga terkait; – regulator, pengawas, lembaga hukum, konsultan – dalam industri ekonomi/keuangan/perbankan/ bisnis syariah

•         Mengetahui & memahami hukum dasar baik hukum syariah (fiqh mumalah) maupun hukum positif yang berlaku

•         Menguasai bahasa sumber ilmu, yaitu Arabic dan English
Behavior  competency
Kemampuan SDM untuk bertindak efektif, memiliki semangat (ghirah) syariah, fleksibel dan rasa ingin tahu yang tinggi serta berorientas pada hasil yang sempurna. Selain itu, kedisiplinan, keramahan dan kerapian dalam berpakaian juga sangat penting dalam pembentukan karakter Perbankan Syariah.

Role Competency
SDM yang mampu memberikan kontribusi positif sesuai peran dalam perusahaan, cepat menangkap perubahan dan mampu membangun hubungan dengan yang lain.

Core Competency
SDM yang memiliki pandangan dan keyakinan yang sesuai dengan visi, misi, makna dan values serta budaya perusahaan (bisnis syariah).

 

Dari beberapa karakter diatas, menurut saya, karakter yang insyaalah saya miliki yaitu itu shidiq dan amanah. Namun saya rasa karakter tersebut belum sepenuhnya ada pada diri saya, karena dalam beberapa hal, saya merasa belum shidiq dan amanah.

Kemudian karakter yang belum ada yaitu tabligh dan fathonah. Saya sangat sulit dalam berkomunikasi dan berinteraksi dengan orang-orang  baru. Untuk fathonah, sebenarnya saya tidak terlalu cepat bisa memahami sesuatu. Namun kedua karakter ini insyaalah akan saya rubah dan akan saya miliki keempat karakter Rasulullah SAW tersebut

 

Demikian yang dapat saya tulis dalam blog saya,sekali lagi  mohon komentar dari Pak Gita dan teman-teman lain untuk mengetahui pekembangan dari yang saya tulis.

Terimakasih

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarokatuh

Tugas ke-1 Manajemen Perbankan EPI UMY 2012

1. Tahap-tahap Perkembangan Peraturan Perbankan Syariah yang Diterapkan Di Indonesia

Perbankan syariah memulai karirnya di dunia perbankan Indonesia sejak tahun 1992 setelah diumumkan UU No. 7/1992, dengan pelopornya adalah Bank Muamalat Indonesia (BMI). Setelah dilakukan revisi, di tahun 1998 Undang-Undang tersebut digantikan dengan UU No.10/1998. Dukungan pemerintah dengan dikeluarkan landasan hukum bagi perbankan syariah, telah membawanya menjadi kian berkembang pesat. Undang-Undang tersebut diharapkan dapat mendorong pengembangan jaringan kantor bank syariah yang dapat lebih menjangkau masyarakat yang lebih membutuhkan di seluruh Indonesia. Di dalam pengertian umum bank syariah (di beberapa Negara disebut Islamic Bank) adalah bahwa kegiatan Bank Syariah / Bank Islami mencoba menerapkan hukum agama islam (syariah/shari’a) ke dalam sector perbankan atau ke dalam sector komersial modern lainnya
Berbeda dengan nasional, hukum islam pada hakekatnya meliputi etika dan hukum dunia akhirat, serta masjid (agama) dan Negara. Hukum islam tidak membedakan aturan yang dipaksakan oleh kesadaran individual dengan aturan yang dipaksakan oleh pengadilan atau Negara. Penerapan hukum islam dalam kegiatan perbankan atau kegiatan ekonomi lainnya yang modern bukanlah pekerjaan yang sederhana. Studi mengenai hukum perbankan syariah atau hukum keuangan syariah menjadi suatu studi yang menarik dan menantang untuk dunia hukum di Indonesia dimana hukum yang berlaku di Indonesia berbeda dengan hukum yang berlaku dengan hukum agama islam. Indonesia bukan Negara islam, oleh karena itu pemberlakuan hukum islam tidak dapat diberlakukan secara otomatis dalam kehidupan kemasyarakatan. Pemberlakuan hukum agama islam harus melalui proses positivasi hukum islam. Dalam hal ini, hukum syariah diterima oleh Negara dalam peraturan perundang-undangan yang positif yang berlaku secara nasional. Oleh karena itu, bank syariah yang didirikan di Indonesia tidak hanya mengikuti hukum syariah saja tetapi harus mengikuti semua hukum nasional yang yang secara langsung atau tidak langsung mengatur bank syariah. Dengan diberlakukannya undang-undang No.10 tahun 1998 , maka legalitas hukum baik dari aspek kelembagaan dan kegiatan usaha bank syariah telah diakomodir dengan jelas dan menjadi landasan yuridis yang kuat bagi perbankan dan para pihak yang berkepentingan. Pada dasarnya pengaturan hukum kegiatan usaha bank syariah diupayakan untuk diberlakukan secara “equal treatment regulations” atau prinsip kesetaraan hukum. Namun kadangkala terdapat pengaturan yang bersifat khusus terhadap kegiatan usaha bank syariah yang disesuaikan dengan karakter usaha bank syariah yang memilki perbedaan yang sangat mendasar jika dibandingkan dengan bank konvensional. Karakter kegiatan usaha bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional sudah berlaku standard dan secara universal telah diterapkan di berbagai Negara yang menggunakan system perbankan syariah. Standarisasi yang dilakukan seperti dalam penerapan akuntansi dan audit bank syariah yang diberlakukan secara khusus sebagaimana ditentukan dalam standar internasional untuk akuntansi dan audit lebaga keuangansyariah yang diterbitkan oleh AAOIFI Bahrain. Dalam kegiatan usaha bank syariah perana DPS juga sangat penting dalam rangka menjaga kegiatan usaha bank syariah agar senantiasa berjalan sesuai dengan nilai-nilai syariah. DPS terdiri dari para paka syariah muamalah yang memiliki pengetahuan dasar di bidang prbankan, dan dalam pelaksanaannya di kehidupan sehari-hari, DPS wajib mengikuti fatwa DSN. DSN adalah badan independen yang mempunyai kewenangan mengeluarkan fatwa syariah terhadap produk dan jasa lembaga syariah di Indonesia. Di masa mendatang harus lebih dilakukan kajian yang mendalam dan komprehensif mengenai arah pendekatan pengembangan perbankan syariah (ekonomi syariah), agar antara pengembangan praktik-praktik kegiatan ekonomi syariah akan lebih sejalan dan saling mendukung dengan pengembangan infrastruktur hukum perbankan syariah.

2.  Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 Bab 1, Ketentuan Umum Pasal 1 No. 14

“Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor dan Investasinya.”

Maksud dari kalimat tersebut adalah bank tidak akan memberitahukan kepada masyarakat umum tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investasinya. Oleh karena itu, hal yang tidak mungkin untuk masyarakat umum mengetahui yang  menjadi Rahasia Bank. Tetapi, bank tidak merahasiakan mengenai Nasabah Kreditornya, jadi semua data kreditor dapat diketahui masyarakat umum.
Jika hal diatas dikaitkan dengan skripsi saya, maka ketika saya ingin meneliti tentang Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah Investor dan Investornya pada suatu bank, bank tidak akan memberitahukan kepada saya mengenai hal tersebut karena hal tersebut merupakan Rahasia Bank yang tidak akan diberitahukan kepada masyarakat umum.

3. Perbedaan antara Tabungan, Deposito, dan Giro

Tabungan adalah simpanan yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat tertentu yang disepakati, tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan /atau alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.

Deposito atau yang sering juga disebut sebagai deposito berjangka, merupakan produk bank sejenis jasa tabungan yang biasa ditawarkan kepada masyarakat. Dana dalam deposito dijamin oleh pemerintah melalui Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) dengan persyaratan tertentu. Deposito biasanya memiliki jangka waktu tertentu di mana uang di dalamnya tidak boleh ditarik nasabah. Deposito baru bisa dicairkan sesuai dengan tanggal jatuh temponya, biasanya deposito mempunyai jatuh tempo 1, 3, 6, atau 12 bulan. Bila deposito dicairkan sebelum tanggal jatuh tempo, maka akan kena penalti. Deposito juga dapat diperpanjang secara otomatis menggunakan sistem ARO (Automatic Roll Over). Deposito akan diperpanjang otomatis setelah jatuh tempo, sampai pemiliknya mencairkan depositonya. Bunga deposito biasanya lebih tinggi daripada bunga tabungan biasa. Bunga dapat diambil setelah tanggal jatuh tempo atau dimasukkan lagi ke pokok deposito untuk didepositokan lagi pada periode berikutnya.

Giro adalah suatu istilah perbankan untuk suatu cara pembayaran yang hampir merupakan kebalikan dari sistem cek. Suatu cek diberikan kepada pihak penerima pembayaran (payee) yang menyimpannya di bank mereka, sedangkan giro diberikan oleh pihak pembayar (payer) ke banknya, yang selanjutnya akan mentransfer dana kepada bank pihak penerima, langsung ke akun mereka. Perbedaan tersebut termasuk jenis perbedaan sistem ‘dorong dan tarik’ (push and pull). Suatu cek adalah transaksi ‘tarik’: menunjukkan cek akan menyebabkan bank penerima pembayaran mencari dana ke bank sang pembayar yang jika tersedia akan menarik uang tersebut. Jika tidak tersedia, cek akan “terpental” dan dikembalikan dengan pesan bahwa dana tak mencukupi. Sebaliknya, giro adalah transaksi ‘dorong’: pembayar memerintahkan banknya untuk mengambil dana dari akun yang ada dan mengirimkannya ke bank penerima pembayaran sehingga penerima pembayaran dapat mengambil uang tersebut. Karenanya, suatu giro tidak dapat “terpental”, karena bank hanya akan memproses perintah jika pihak pembayar memiliki daya yang cukup untuk melakukan pembayaran tersebut. Namun ini juga berarti pihak pembayar tidak mendapatkan keuntungan dari “float”.

4. Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Pasal 32 Bagian Ketiga

(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.

(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.


Kalimat kunci dari pasal tersebut adalah  Dewan Pengawas Syariah bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 21 TAHUN 2008

TENTANG

PERBANKAN SYARIAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang:

a. bahwa sejalan dengan tujuan pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur  berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah;

b. bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa perbankan syariah semakin meningkat;

c. bahwa perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan perbankan konvensional;

d. bahwa pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri;

e. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf d perlu membentuk Undang-Undang tentang Perbankan Syariah;

Mengingat:

1. Pasal 20 dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790);

3. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3843) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 7, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4357);

4. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2004 tentang Lembaga Penjamin Simpanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 96, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4420);

5. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 106, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4756);

Dengan Persetujuan Bersama

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

dan

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG–UNDANG TENTANG PERBANKAN SYARIAH.

BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut

tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup

kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam

melaksanakan kegiatan usahanya.

2. Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari

masyarakat dalam bentuk Simpanan dan menyalurkannya

kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau bentuk

lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat.

3. Bank Indonesia adalah Bank Sentral Republik Indonesia

sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

4. Bank Konvensional adalah Bank yang menjalankan

kegiatan usahanya secara konvensional dan berdasarkan

jenisnya terdiri atas Bank Umum Konvensional dan Bank

Perkreditan Rakyat.

5. Bank Umum Konvensional adalah Bank Konvensional

yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu

lintas pembayaran.

6. Bank Perkreditan Rakyat adalah Bank Konvensional yang

dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu

lintas pembayaran.

7. Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan

usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut

jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah.

8. Bank Umum Syariah adalah Bank Syariah yang dalam

kegiatannya memberikan jasa dalam lalu lintas

pembayaran.

9. Bank Pembiayaan Rakyat Syariah adalah Bank Syariah

yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam

lalu lintas pembayaran.

10. Unit Usaha Syariah, yang selanjutnya disebut UUS,

adalah unit kerja dari kantor pusat Bank Umum

Konvensional yang berfungsi sebagai kantor induk dari

kantor atau unit yang melaksanakan kegiatan usaha

berdasarkan Prinsip Syariah, atau unit kerja di kantor

cabang dari suatu Bank yang berkedudukan di luar negeri

yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional

yang berfungsi sebagai kantor induk dari kantor cabang

pembantu syariah dan/atau unit syariah.

11. Kantor Cabang adalah kantor cabang Bank Syariah yang

bertanggung jawab kepada kantor pusat Bank yang

bersangkutan dengan alamat tempat usaha yang jelas

sesuai dengan lokasi kantor cabang tersebut melakukan

usahanya.

12. Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam

kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan

oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan

fatwa di bidang syariah.

13. Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah

atau UUS dan pihak lain yang memuat adanya hak dan

kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan

Prinsip Syariah.

14. Rahasia Bank adalah segala sesuatu yang

berhubungan dengan keterangan mengenai Nasabah

Penyimpan dan Simpananannya serta Nasabah Investor

dan Investasinya.

15. Pihak Terafiliasi adalah:

a. komisaris, direksi atau kuasanya, pejabat, dan

karyawan Bank Syariah atau Bank Umum

Konvensional yang memiliki UUS;

b. pihak yang memberikan jasanya kepada Bank

Syariah atau UUS, antara lain Dewan Pengawas

Syariah, akuntan publik, penilai, dan konsultan

hukum; dan/atau

c. pihak yang menurut penilaian Bank Indonesia turut

serta memengaruhi pengelolaan Bank Syariah atau

UUS, baik langsung maupun tidak langsung, antara

lain pengendali bank, pemegang saham dan

keluarganya, keluarga komisaris, dan keluarga

direksi.

16. Nasabah adalah pihak yang menggunakan jasa Bank

Syariah dan/atau UUS.

17. Nasabah Penyimpan adalah Nasabah yang menempatkan

dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk

Simpanan berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau

UUS dan Nasabah yang bersangkutan.

18. Nasabah Investor adalah Nasabah yang menempatkan

dananya di Bank Syariah dan/atau UUS dalam bentuk

Investasi berdasarkan Akad antara Bank Syariah atau

UUS dan Nasabah yang bersangkutan.

19. Nasabah Penerima Fasilitas adalah Nasabah yang

memperoleh fasilitas dana atau yang dipersamakan

dengan itu, berdasarkan Prinsip Syariah.

20. Simpanan adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah

kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad

wadi’ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan

Prinsip Syariah dalam bentuk Giro, Tabungan, atau

bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu.

21. Tabungan adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah

atau Investasi dana berdasarkan Akad mudharabah atau

Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah

yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut

syarat dan ketentuan tertentu yang disepakati, tetapi

tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan/atau alat

lainnya yang dipersamakan dengan itu.

22. Deposito adalah Investasi dana berdasarkan Akad

mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan

dengan Prinsip Syariah yang penarikannya hanya dapat

dilakukan pada waktu tertentu berdasarkan Akad antara

Nasabah Penyimpan dan Bank Syariah dan/atau UUS.

23. Giro adalah Simpanan berdasarkan Akad wadi’ah atau

Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah

yang penarikannya dapat dilakukan setiap saat dengan

menggunakan cek, bilyet giro, sarana perintah

pembayaran lainnya, atau dengan perintah

pemindahbukuan.

24. Investasi adalah dana yang dipercayakan oleh Nasabah

kepada Bank Syariah dan/atau UUS berdasarkan Akad

mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan

dengan Prinsip Syariah dalam bentuk Deposito,

Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan

dengan itu.

25. Pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang

dipersamakan dengan itu berupa:

a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan

musyarakah;

b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau

sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;

c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah,

salam, dan istishna’;

d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang

qardh; dan

e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah

untuk transaksi multijasa

berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank

Syariah dan/atau UUS dan pihak lain yang mewajibkan

pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk

mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu

tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi

hasil.

26. Agunan adalah jaminan tambahan, baik berupa benda

bergerak maupun benda tidak bergerak yang diserahkan

oleh pemilik Agunan kepada Bank Syariah dan/atau UUS,

guna menjamin pelunasan kewajiban Nasabah Penerima

Fasilitas.

27. Penitipan adalah penyimpanan harta berdasarkan Akad

antara Bank Umum Syariah atau UUS dan penitip,

dengan ketentuan Bank Umum Syariah atau UUS yang

bersangkutan tidak mempunyai hak kepemilikan atas

harta tersebut.

28. Wali Amanat adalah Bank Umum Syariah yang mewakili

kepentingan pemegang surat berharga berdasarkan Akad

wakalah antara Bank Umum Syariah yang bersangkutan

dan pemegang surat berharga tersebut.

29. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan

oleh satu Bank atau lebih untuk menggabungkan diri

dengan Bank lain yang telah ada yang mengakibatkan

aktiva dan pasiva dari Bank yang menggabungkan diri

beralih karena hukum kepada Bank yang menerima

penggabungan dan selanjutnya status badan hukum

Bank yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

30. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh

dua Bank atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara

mendirikan satu Bank baru yang karena hukum

memperoleh aktiva dan pasiva dari Bank yang

meleburkan diri dan status badan hukum Bank yang

meleburkan diri berakhir karena hukum.

31. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang

dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan

untuk mengambil alih saham Bank yang mengakibatkan

beralihnya pengendalian atas Bank tersebut.

32. Pemisahan adalah pemisahan usaha dari satu Bank

menjadi dua badan usaha atau lebih, sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB II

ASAS, TUJUAN, DAN FUNGSI

Pasal 2

Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya

berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip

kehati-hatian.

Pasal 3

Perbankan Syariah bertujuan menunjang pelaksanaan

pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan,

kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Pasal 4

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menjalankan fungsi

menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.

(2) Bank Syariah dan UUS dapat menjalankan fungsi sosial

dalam bentuk lembaga baitul mal, yaitu menerima dana yang

berasal dari zakat, infak, sedekah, hibah, atau dana sosial

lainnya dan menyalurkannya kepada organisasi pengelola

zakat.

(3) Bank Syariah dan UUS dapat menghimpun dana sosial yang

berasal dari wakaf uang dan menyalurkannya kepada

pengelola wakaf (nazhir) sesuai dengan kehendak pemberi

wakaf (wakif).

(4) Pelaksanaan fungsi sosial sebagaimana dimaksud pada ayat

(2) dan ayat (3) sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

BAB III

PERIZINAN, BENTUK BADAN HUKUM, ANGGARAN DASAR,

DAN KEPEMILIKAN

Bagian Kesatu

Perizinan

Pasal 5

(1) Setiap pihak yang akan melakukan kegiatan usaha Bank

Syariah atau UUS wajib terlebih dahulu memperoleh izin

usaha sebagai Bank Syariah atau UUS dari Bank Indonesia.

(2) Untuk memperoleh izin usaha Bank Syariah harus

memenuhi persyaratan sekurang-kurangnya tentang:

a. susunan organisasi dan kepengurusan;

b. permodalan;

c. kepemilikan;

d. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan

e. kelayakan usaha.

(3) Persyaratan .. .

.

– 8 –

(3) Persyaratan untuk memperoleh izin usaha UUS diatur lebih

lanjut dengan Peraturan Bank Indonesia.

(4) Bank Syariah yang telah mendapat izin usaha sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) wajib mencantumkan dengan jelas

kata “syariah” pada penulisan nama banknya.

(5) Bank Umum Konvensional yang telah mendapat izin usaha

UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib

mencantumkan dengan jelas frase “Unit Usaha Syariah”

setelah nama Bank pada kantor UUS yang bersangkutan.

(6) Bank Konvensional hanya dapat mengubah kegiatan

usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dengan izin Bank

Indonesia.

(7) Bank Umum Syariah tidak dapat dikonversi menjadi Bank

Umum Konvensional.

(8) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak dapat dikonversi

menjadi Bank Perkreditan Rakyat.

(9) Bank Umum Konvensional yang akan melakukan kegiatan

usaha berdasarkan Prinsip Syariah wajib membuka UUS di

kantor pusat Bank dengan izin Bank Indonesia.

Pasal 6

(1) Pembukaan Kantor Cabang Bank Syariah dan UUS hanya

dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.

(2) Pembukaan Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenisjenis

kantor lainnya di luar negeri oleh Bank Umum Syariah

dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS hanya

dapat dilakukan dengan izin Bank Indonesia.

(3) Pembukaan kantor di bawah Kantor Cabang, wajib

dilaporkan dan hanya dapat dilakukan setelah mendapat

surat penegasan dari Bank Indonesia.

(4) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah tidak diizinkan untuk

membuka Kantor Cabang, kantor perwakilan, dan jenis

kantor lainnya di luar negeri.

Bagian Kedua

Bentuk Badan Hukum

Pasal 7

Bentuk badan hukum Bank Syariah adalah perseroan terbatas.

Bagian …

– 9 –

Bagian Ketiga

Anggaran Dasar

Pasal 8

Di dalam anggaran dasar Bank Syariah selain memenuhi

persyaratan anggaran dasar sebagaimana diatur dalam ketentuan

peraturan perundang-undangan memuat pula ketentuan:

a. pengangkatan anggota direksi dan komisaris harus

mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;

b. Rapat Umum Pemegang Saham Bank Syariah harus

menetapkan tugas manajemen, remunerasi komisaris dan

direksi, laporan pertanggungjawaban tahunan, penunjukkan

dan biaya jasa akuntan publik, penggunaan laba, dan hal-hal

lainnya yang ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.

Bagian Keempat

Pendirian dan Kepemilikan Bank Syariah

Pasal 9

(1) Bank Umum Syariah hanya dapat didirikan dan/atau

dimiliki oleh:

a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum

Indonesia;

b. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum

Indonesia dengan warga negara asing dan/atau badan

hukum asing secara kemitraan; atau

c. pemerintah daerah.

(2) Bank Pembiayaan Rakyat Syariah hanya dapat didirikan

dan/atau dimiliki oleh:

a. warga negara Indonesia dan/atau badan hukum

Indonesia yang seluruh pemiliknya warga negara

Indonesia;

b. pemerintah daerah; atau

c. dua pihak atau lebih sebagaimana dimaksud dalam

huruf a dan huruf b.

(3) Maksimum kepemilikan Bank Umum Syariah oleh warga

negara asing dan/atau badan hukum asing diatur dalam

Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 10 …

– 10 –

Pasal 10

Ketentuan lebih lanjut mengenai perizinan, bentuk badan

hukum, anggaran dasar, serta pendirian dan kepemilikan Bank

Syariah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 sampai dengan

Pasal 9 diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 11

Besarnya modal disetor minimum untuk mendirikan Bank

Syariah ditetapkan dalam Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 12

Saham Bank Syariah hanya dapat diterbitkan dalam bentuk

saham atas nama.

Pasal 13

Bank Umum Syariah dapat melakukan penawaran umum efek

melalui pasar modal sepanjang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah dan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang

pasar modal.

Pasal 14

(1) Warga negara Indonesia, warga negara asing, badan hukum

Indonesia, atau badan hukum asing dapat memiliki atau

membeli saham Bank Umum Syariah secara langsung atau

melalui bursa efek.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 15

Perubahan kepemilikan Bank Syariah wajib memenuhi ketentuan

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 sampai dengan Pasal 14.

Pasal 16

(1) UUS dapat menjadi Bank Umum Syariah tersendiri setelah

mendapat izin dari Bank Indonesia.

(2) Izin perubahan UUS menjadi Bank Umum Syariah

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 17 . . .

– 11 –

Pasal 17

(1) Penggabungan, Peleburan, dan Pengambilalihan Bank

Syariah wajib terlebih dahulu mendapat izin dari Bank

Indonesia.

(2) Dalam hal terjadi Penggabungan atau Peleburan Bank

Syariah dengan Bank lainnya, Bank hasil Penggabungan

atau Peleburan tersebut wajib menjadi Bank Syariah.

(3) Ketentuan mengenai Penggabungan, Peleburan, dan

Pengambilalihan Bank Syariah dilakukan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

BAB IV

JENIS DAN KEGIATAN USAHA, KELAYAKAN PENYALURAN DANA, DAN

LARANGAN BAGI BANK SYARIAH DAN UUS

Bagian Kesatu

Jenis dan Kegiatan Usaha

Pasal 18

Bank Syariah terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah.

Pasal 19

(1) Kegiatan usaha Bank Umum Syariah meliputi:

a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa

Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah

atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah;

b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa

Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad

mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan

dengan Prinsip Syariah;

c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad

mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang

tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad

murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain

yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e. menyalurkan .. .

– 12 –

e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau

Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah;

f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak

atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad

ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah

muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad

hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan

Prinsip Syariah;

h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i. membeli, menjual, atau menjamin atas risiko sendiri

surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar

transaksi nyata berdasarkan Prinsip Syariah, antara

lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah,

murabahah, kafalah, atau hawalah;

j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah

yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank

Indonesia;

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga

dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau

antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

l. melakukan Penitipan untuk kepentingan pihak lain

berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip

Syariah;

m. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan

surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

n. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri

maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan

Prinsip Syariah;

o. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan

Akad wakalah;

p. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi

berdasarkan Prinsip Syariah; dan

q. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang

perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Kegiatan …

– 13 –

(2) Kegiatan usaha UUS meliputi:

a. menghimpun dana dalam bentuk Simpanan berupa

Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah

atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah;

b. menghimpun dana dalam bentuk Investasi berupa

Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang

dipersamakan dengan itu berdasarkan Akad

mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan

dengan Prinsip Syariah;

c. menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad

mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain yang

tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad

murabahah, Akad salam, Akad istishna’, atau Akad lain

yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

e. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau

Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip

Syariah;

f. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak

atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad

ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah

muntahiya bittamlik atau Akad lain yang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah;

g. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan Akad

hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan

Prinsip Syariah;

h. melakukan usaha kartu debit dan/atau kartu

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah;

i. membeli dan menjual surat berharga pihak ketiga yang

diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan

Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah,

musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau

hawalah;

j. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah

yang diterbitkan oleh pemerintah dan/atau Bank

Indonesia;

k. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga

dan melakukan perhitungan dengan pihak ketiga atau

antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah;

l. menyediakan .. .

– 14 –

l. menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan

surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah;

m. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri

maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan

Prinsip Syariah;

n. memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi

berdasarkan Prinsip Syariah; dan

o. melakukan kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang

perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 20

(1) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 19 ayat (1), Bank Umum Syariah dapat pula:

a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip

Syariah;

b. melakukan kegiatan penyertaan modal pada Bank

Umum Syariah atau lembaga keuangan yang melakukan

kegiatan usaha berdasarkan Prinsip Syariah;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk

mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali

penyertaannya;

d. bertindak sebagai pendiri dan pengurus dana pensiun

berdasarkan Prinsip Syariah;

e. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

f. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang

berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan

sarana elektronik;

g. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan

surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip

Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung

melalui pasar uang;

h. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan

surat berharga jangka panjang berdasarkan Prinsip

Syariah, baik secara langsung maupun tidak langsung

melalui pasar modal; dan

i. menyediakan . . .

– 15 –

i. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha

Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip

Syariah.

(2) Selain melakukan kegiatan usaha sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 19 ayat (2), UUS dapat pula:

a. melakukan kegiatan valuta asing berdasarkan Prinsip

Syariah;

b. melakukan kegiatan dalam pasar modal sepanjang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah dan ketentuan

peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal;

c. melakukan kegiatan penyertaan modal sementara untuk

mengatasi akibat kegagalan Pembiayaan berdasarkan

Prinsip Syariah, dengan syarat harus menarik kembali

penyertaannya;

d. menyelenggarakan kegiatan atau produk bank yang

berdasarkan Prinsip Syariah dengan menggunakan

sarana elektronik;

e. menerbitkan, menawarkan, dan memperdagangkan

surat berharga jangka pendek berdasarkan Prinsip

Syariah baik secara langsung maupun tidak langsung

melalui pasar uang; dan

f. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha

Bank Umum Syariah lainnya yang berdasarkan Prinsip

Syariah.

(3) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

wajib memenuhi ketentuan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia dan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 21

Kegiatan usaha Bank Pembiayaan Rakyat Syariah meliputi:

a. menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk:

1. Simpanan berupa Tabungan atau yang dipersamakan

dengan itu berdasarkan Akad wadi’ah atau Akad lain

yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; dan

2. Investasi berupa Deposito atau Tabungan atau bentuk

lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan

Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak

bertentangan dengan Prinsip Syariah;

b. menyalurkan dana kepada masyarakat dalam bentuk:

1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah

atau musyarakah;

2. Pembiayaan .. .

– 16 –

2. Pembiayaan berdasarkan Akad murabahah, salam, atau

istishna’;

3. Pembiayaan berdasarkan Akad qardh;

4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak

bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah atau

sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik; dan

5. pengambilalihan utang berdasarkan Akad hawalah;

c. menempatkan dana pada Bank Syariah lain dalam bentuk

titipan berdasarkan Akad wadi’ah atau Investasi

berdasarkan Akad mudharabah dan/atau Akad lain yang

tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

d. memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri

maupun untuk kepentingan Nasabah melalui rekening Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah yang ada di Bank Umum

Syariah, Bank Umum Konvensional, dan UUS; dan

e. menyediakan produk atau melakukan kegiatan usaha Bank

Syariah lainnya yang sesuai dengan Prinsip Syariah

berdasarkan persetujuan Bank Indonesia.

Pasal 22

Setiap pihak dilarang melakukan kegiatan penghimpunan dana

dalam bentuk Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip

Syariah tanpa izin terlebih dahulu dari Bank Indonesia, kecuali

diatur dalam undang-undang lain.

Bagian Kedua

Kelayakan Penyaluran Dana

Pasal 23

(1) Bank Syariah dan/atau UUS harus mempunyai keyakinan

atas kemauan dan kemampuan calon Nasabah Penerima

Fasilitas untuk melunasi seluruh kewajiban pada waktunya,

sebelum Bank Syariah dan/atau UUS menyalurkan dana

kepada Nasabah Penerima Fasilitas.

(2) Untuk memperoleh keyakinan sebagaimana dimaksud pada

ayat (1), Bank Syariah dan/atau UUS wajib melakukan

penilaian yang saksama terhadap watak, kemampuan,

modal, Agunan, dan prospek usaha dari calon Nasabah

Penerima Fasilitas.

Bagian …

– 17 –

Bagian Ketiga

Larangan Bagi Bank Syariah dan UUS

Pasal 24

(1) Bank Umum Syariah dilarang:

a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan

Prinsip Syariah;

b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di

pasar modal;

c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1) huruf b dan huruf c;

dan

d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali

sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

(2) UUS dilarang:

a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan

Prinsip Syariah;

b. melakukan kegiatan jual beli saham secara langsung di

pasar modal;

c. melakukan penyertaan modal, kecuali sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 20 ayat (2) huruf c; dan

d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali

sebagai agen pemasaran produk asuransi syariah.

Pasal 25

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dilarang:

a. melakukan kegiatan usaha yang bertentangan dengan

Prinsip Syariah;

b. menerima Simpanan berupa Giro dan ikut serta dalam lalu

lintas pembayaran;

c. melakukan kegiatan usaha dalam valuta asing, kecuali

penukaran uang asing dengan izin Bank Indonesia;

d. melakukan kegiatan usaha perasuransian, kecuali sebagai

agen pemasaran produk asuransi syariah;

e. melakukan penyertaan modal, kecuali pada lembaga yang

dibentuk untuk menanggulangi kesulitan likuiditas Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah; dan

f. melakukan usaha lain di luar kegiatan usaha sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 21.

Pasal 26 . . .

– 18 –

Pasal 26

(1) Kegiatan usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19,

Pasal 20, dan Pasal 21 dan/atau produk dan jasa syariah,

wajib tunduk kepada Prinsip Syariah.

(2) Prinsip Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

difatwakan oleh Majelis Ulama Indonesia.

(3) Fatwa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dituangkan

dalam Peraturan Bank Indonesia.

(4) Dalam rangka penyusunan Peraturan Bank Indonesia

sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Bank Indonesia

membentuk komite perbankan syariah.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembentukan,

keanggotaan, dan tugas komite perbankan syariah

sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur dengan

Peraturan Bank Indonesia.

BAB V

PEMEGANG SAHAM PENGENDALI, DEWAN KOMISARIS,

DEWAN PENGAWAS SYARIAH, DIREKSI,

DAN TENAGA KERJA ASING

Bagian Kesatu

Pemegang Saham Pengendali

Pasal 27

(1) Calon pemegang saham pengendali Bank Syariah wajib lulus

uji kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank

Indonesia.

(2) Pemegang saham pengendali yang tidak lulus uji

kemampuan dan kepatutan wajib menurunkan kepemilikan

sahamnya menjadi paling banyak 10% (sepuluh persen).

(3) Dalam hal pemegang saham pengendali tidak menurunkan

kepemilikan sahamnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

maka:

a. hak suara pemegang saham pengendali tidak

diperhitungkan dalam Rapat Umum Pemegang Saham;

b. hak suara pemegang saham pengendali tidak

diperhitungkan sebagai penghitungan kuorum atau

tidaknya Rapat Umum Pemegang Saham;

c. dividen . . .

– 19 –

c. deviden yang dapat dibayarkan kepada pemegang

saham pengendali paling banyak 10% (sepuluh persen)

dan sisanya dibayarkan setelah pemegang saham

pengendali tersebut mengalihkan kepemilikannya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1); dan

d. nama pemegang saham pengendali yang bersangkutan

diumumkan kepada publik melalui 2 (dua) media massa

yang mempunyai peredaran luas.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan

kepatutan diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Bagian Kedua

Dewan Komisaris dan Direksi

Pasal 28

Ketentuan mengenai syarat, jumlah, tugas, kewenangan,

tanggung jawab, serta hal lain yang menyangkut dewan komisaris

dan direksi Bank Syariah diatur dalam anggaran dasar Bank

Syariah sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

Pasal 29

(1) Dalam jajaran direksi Bank Syariah sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 28 wajib terdapat 1 (satu) orang direktur yang

bertugas untuk memastikan kepatuhan Bank Syariah

terhadap pelaksanaan ketentuan Bank Indonesia dan

peraturan perundang-undangan lainnya.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai tugas untuk memastikan

kepatuhan Bank Syariah terhadap pelaksanaan ketentuan

Bank Indonesia dan peraturan perundang-undangan lainnya

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 30

(1) Calon dewan komisaris dan calon direksi wajib lulus uji

kemampuan dan kepatutan yang dilakukan oleh Bank

Indonesia.

(2) Uji kemampuan dan kepatutan terhadap komisaris dan

direksi yang melanggar integritas dan tidak memenuhi

kompetensi dilakukan oleh Bank Indonesia.

(3) Komisaris . . .

– 20 –

(3) Komisaris dan direksi yang tidak lulus uji kemampuan dan

kepatutan wajib melepaskan jabatannya.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai uji kemampuan dan

kepatutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)

diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 31

(1) Dalam menjalankan kegiatan Bank Syariah, direksi dapat

mengangkat pejabat eksekutif.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengangkatan pejabat

eksekutif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Bank Indonesia.

Bagian Ketiga

Dewan Pengawas Syariah

Pasal 32

(1) Dewan Pengawas Syariah wajib dibentuk di Bank Syariah

dan Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS.

(2) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) diangkat oleh Rapat Umum Pemegang Saham atas

rekomendasi Majelis Ulama Indonesia.

(3) Dewan Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat

(1) bertugas memberikan nasihat dan saran kepada direksi

serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip

Syariah.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembentukan Dewan

Pengawas Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Bagian Keempat

Penggunaan Tenaga Kerja Asing

Pasal 33

(1) Dalam menjalankan kegiatannya, Bank Syariah dapat

menggunakan tenaga kerja asing.

(2) Tata cara penggunaan tenaga kerja asing sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan.

BAB VI . . .

– 21 –

BAB VI

TATA KELOLA, PRINSIP KEHATI-HATIAN,

DAN PENGELOLAAN RISIKO PERBANKAN SYARIAH

Bagian Kesatu

Tata Kelola Perbankan Syariah

Pasal 34

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan tata kelola yang

baik yang mencakup prinsip transparansi, akuntabilitas,

pertanggungjawaban, profesional, dan kewajaran dalam

menjalankan kegiatan usahanya.

(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyusun prosedur internal

mengenai pelaksanaan prinsip-prinsip sebagaimana

dimaksud pada ayat (1).

(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata kelola yang baik

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Bank Indonesia.

Bagian Kedua

Prinsip Kehati-hatian

Pasal 35

(1) Bank Syariah dan UUS dalam melakukan kegiatan usahanya

wajib menerapkan prinsip kehati-hatian.

(2) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan kepada Bank

Indonesia laporan keuangan berupa neraca tahunan dan

perhitungan laba rugi tahunan serta penjelasannya yang

disusun berdasarkan prinsip akuntansi syariah yang berlaku

umum, serta laporan berkala lainnya, dalam waktu dan

bentuk yang diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

(3) Neraca dan perhitungan laba rugi tahunan sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) wajib terlebih dahulu diaudit oleh

kantor akuntan publik.

(4) Bank Indonesia dapat menetapkan pengecualian terhadap

kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (3) bagi Bank

Pembiayaan Rakyat Syariah.

(5) Bank Syariah wajib mengumumkan neraca dan laporan laba

rugi kepada publik dalam waktu dan bentuk yang ditentukan

oleh Bank Indonesia.

Pasal 36 . . .

– 22 –

Pasal 36

Dalam menyalurkan Pembiayaan dan melakukan kegiatan usaha

lainnya, Bank Syariah dan UUS wajib menempuh cara-cara yang

tidak merugikan Bank Syariah dan/atau UUS dan kepentingan

Nasabah yang mempercayakan dananya.

Pasal 37

(1) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas

maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah,

pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga

yang berbasis syariah, atau hal lain yang serupa, yang dapat

dilakukan oleh Bank Syariah dan UUS kepada Nasabah

Penerima Fasilitas atau sekelompok Nasabah Penerima

Fasilitas yang terkait, termasuk kepada perusahaan dalam

kelompok yang sama dengan Bank Syariah dan UUS yang

bersangkutan.

(2) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak

boleh melebihi 30% (tiga puluh persen) dari modal Bank

Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia.

(3) Bank Indonesia menetapkan ketentuan mengenai batas

maksimum penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah,

pemberian jaminan, penempatan investasi surat berharga,

atau hal lain yang serupa yang dapat dilakukan oleh Bank

Syariah kepada:

a. pemegang saham yang memiliki 10% (sepuluh persen)

atau lebih dari modal disetor Bank Syariah;

b. anggota dewan komisaris;

c. anggota direksi;

d. keluarga dari pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf

a, huruf b, dan huruf c;

e. pejabat bank lainnya; dan

f. perusahaan yang di dalamnya terdapat kepentingan dari

pihak sebagaimana dimaksud dalam huruf a sampai

dengan huruf e.

(4) Batas maksimum sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tidak

boleh melebihi 20% (dua puluh persen) dari modal Bank

Syariah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank

Indonesia.

(5) Pelaksanaan …

– 23 –

(5) Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dan ayat (3) wajib dilaporkan sesuai dengan ketentuan yang

ditetapkan oleh Bank Indonesia.

Bagian Ketiga

Kewajiban Pengelolaan Risiko

Pasal 38

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menerapkan manajemen risiko,

prinsip mengenal nasabah, dan perlindungan nasabah.

(2) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dengan Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 39

Bank Syariah dan UUS wajib menjelaskan kepada Nasabah

mengenai kemungkinan timbulnya risiko kerugian sehubungan

dengan transaksi Nasabah yang dilakukan melalui Bank Syariah

dan/atau UUS.

Pasal 40

(1) Dalam hal Nasabah Penerima Fasilitas tidak memenuhi

kewajibannya, Bank Syariah dan UUS dapat membeli

sebagian atau seluruh Agunan, baik melalui maupun di luar

pelelangan, berdasarkan penyerahan secara sukarela oleh

pemilik Agunan atau berdasarkan pemberian kuasa untuk

menjual dari pemilik Agunan, dengan ketentuan Agunan

yang dibeli tersebut wajib dicairkan selambat-lambatnya

dalam jangka waktu 1 (satu) tahun.

(2) Bank Syariah dan UUS harus memperhitungkan harga

pembelian Agunan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dengan kewajiban Nasabah kepada Bank Syariah dan UUS

yang bersangkutan.

(3) Dalam hal harga pembelian Agunan sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) melebihi jumlah kewajiban Nasabah kepada

Bank Syariah dan UUS, selisih kelebihan jumlah tersebut

harus dikembalikan kepada Nasabah setelah dikurangi

dengan biaya lelang dan biaya lain yang langsung terkait

dengan proses pembelian Agunan.

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembelian Agunan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

BAB VII . . .

– 24 –

BAB VII

RAHASIA BANK

Bagian Kesatu

Cakupan Rahasia Bank

Pasal 41

Bank dan Pihak Terafiliasi wajib merahasiakan keterangan

mengenai Nasabah Penyimpan dan Simpanannya serta Nasabah

Investor dan Investasinya.

Bagian Kedua

Pengecualian Rahasia Bank

Pasal 42

(1) Untuk kepentingan penyidikan pidana perpajakan, pimpinan

Bank Indonesia atas permintaan Menteri Keuangan

berwenang mengeluarkan perintah tertulis kepada Bank

agar memberikan keterangan dan memperlihatkan bukti

tertulis serta surat mengenai keadaan keuangan Nasabah

Penyimpan atau Nasabah Investor tertentu kepada pejabat

pajak.

(2) Perintah tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus

menyebutkan nama pejabat pajak, nama nasabah wajib

pajak, dan kasus yang dikehendaki keterangannya.

Pasal 43

(1) Untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana,

pimpinan Bank Indonesia dapat memberikan izin kepada

polisi, jaksa, hakim, atau penyidik lain yang diberi wewenang

berdasarkan undang-undang untuk memperoleh keterangan

dari Bank mengenai Simpanan atau Investasi tersangka atau

terdakwa pada Bank.

(2) Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara

tertulis atas permintaan tertulis dari Kepala Kepolisian

Negara Republik Indonesia, Jaksa Agung, Ketua Mahkamah

Agung, atau pimpinan instansi yang diberi wewenang untuk

melakukan penyidikan.

(3) Permintaan . . .

– 25 –

(3) Permintaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus

menyebutkan nama dan jabatan penyidik, jaksa, atau hakim,

nama tersangka atau terdakwa, alasan diperlukannya

keterangan, dan hubungan perkara pidana yang

bersangkutan dengan keterangan yang diperlukan.

Pasal 44

Bank wajib memberikan keterangan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 42 dan Pasal 43.

Pasal 45

Dalam perkara perdata antara Bank dan Nasabahnya, direksi

Bank yang bersangkutan dapat menginformasikan kepada

pengadilan tentang keadaan keuangan Nasabah yang

bersangkutan dan memberikan keterangan lain yang relevan

dengan perkara tersebut.

Pasal 46

(1) Dalam rangka tukar-menukar informasi antarbank, direksi

Bank dapat memberitahukan keadaan keuangan

Nasabahnya kepada Bank lain.

(2) Ketentuan mengenai tukar-menukar informasi sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Bank

Indonesia.

Pasal 47

Atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari Nasabah

Penyimpan atau Nasabah Investor yang dibuat secara tertulis,

Bank wajib memberikan keterangan mengenai Simpanan

Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor pada Bank yang

bersangkutan kepada pihak yang ditunjuk oleh Nasabah

Penyimpan atau Nasabah Investor tersebut.

Pasal 48

Dalam hal Nasabah Penyimpan atau Nasabah Investor telah

meninggal dunia, ahli waris yang sah dari Nasabah Penyimpan

atau Nasabah Investor yang bersangkutan berhak memperoleh

keterangan mengenai Simpanan Nasabah Penyimpan atau

Nasabah Investor tersebut.

Pasal 49 …

– 26 –

Pasal 49

Pihak yang merasa dirugikan oleh keterangan yang diberikan oleh

Bank sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42, Pasal 43, Pasal 45,

dan Pasal 46, berhak untuk mengetahui isi keterangan tersebut

dan meminta pembetulan jika terdapat kesalahan dalam

keterangan yang diberikan.

BAB VIII

PEMBINAAN DAN PENGAWASAN

Pasal 50

Pembinaan dan pengawasan Bank Syariah dan UUS dilakukan

oleh Bank Indonesia.

Pasal 51

(1) Bank Syariah dan UUS wajib memelihara tingkat kesehatan

yang meliputi sekurang-kurangnya mengenai kecukupan

modal, kualitas aset, likuiditas, rentabilitas, solvabilitas,

kualitas manajemen yang menggambarkan kapabilitas dalam

aspek keuangan, kepatuhan terhadap Prinsip Syariah dan

prinsip manajemen Islami, serta aspek lainnya yang

berhubungan dengan usaha Bank Syariah dan UUS.

(2) Kriteria tingkat kesehatan dan ketentuan yang wajib

dipenuhi oleh Bank Syariah dan UUS sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

Pasal 52

(1) Bank Syariah dan UUS wajib menyampaikan segala

keterangan dan penjelasan mengenai usahanya kepada Bank

Indonesia menurut tata cara yang ditetapkan dengan

Peraturan Bank Indonesia.

(2) Bank Syariah dan UUS, atas permintaan Bank Indonesia,

wajib memberikan kesempatan bagi pemeriksaan buku-buku

dan berkas-berkas yang ada padanya, serta wajib

memberikan bantuan yang diperlukan dalam rangka

memperoleh kebenaran dari segala keterangan, dokumen,

dan penjelasan yang dilaporkan oleh Bank Syariah dan UUS

yang bersangkutan.

(3) Dalam rangka pelaksanaan tugas pengawasan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), Bank Indonesia

berwenang:

a. memeriksa . . .

– 27 –

a. memeriksa dan mengambil data/dokumen dari setiap

tempat yang terkait dengan Bank;

b. memeriksa dan mengambil data/dokumen dan

keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian

Bank Indonesia memiliki pengaruh terhadap Bank; dan

c. memerintahkan Bank melakukan pemblokiran rekening

tertentu, baik rekening Simpanan maupun rekening

Pembiayaan.

(4) Keterangan dan laporan pemeriksaan tentang Bank Syariah

dan UUS yang diperoleh berdasarkan ketentuan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), dan ayat (3)

tidak diumumkan dan bersifat rahasia.

Pasal 53

(1) Bank Indonesia dapat menugasi kantor akuntan publik atau

pihak lainnya untuk dan atas nama Bank Indonesia,

melaksanakan pemeriksaan sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 52 ayat (2).

(2) Persyaratan dan tata cara pemeriksaan sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Bank

Indonesia.

Pasal 54

(1) Dalam hal Bank Syariah mengalami kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya, Bank Indonesia

berwenang melakukan tindakan dalam rangka tindak lanjut

pengawasan antara lain:

a. membatasi kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham,

komisaris, direksi, dan pemegang saham;

b. meminta pemegang saham menambah modal;

c. meminta pemegang saham mengganti anggota dewan

komisaris dan/atau direksi Bank Syariah;

d. meminta Bank Syariah menghapusbukukan penyaluran

dana yang macet dan memperhitungkan kerugian Bank

Syariah dengan modalnya;

e. meminta Bank Syariah melakukan penggabungan atau

peleburan dengan Bank Syariah lain;

f. meminta Bank Syariah dijual kepada pembeli yang

bersedia mengambil alih seluruh kewajibannya;

g. meminta . . .

– 28 –

g. meminta Bank Syariah menyerahkan pengelolaan

seluruh atau sebagian kegiatan Bank Syariah kepada

pihak lain; dan/atau

h. meminta Bank Syariah menjual sebagian atau seluruh

harta dan/atau kewajiban Bank Syariah kepada pihak

lain.

(2) Apabila tindakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum

cukup untuk mengatasi kesulitan yang dialami Bank

Syariah, Bank Indonesia menyatakan Bank Syariah tidak

dapat disehatkan dan menyerahkan penanganannya ke

Lembaga Penjamin Simpanan untuk diselamatkan atau tidak

diselamatkan.

(3) Dalam hal Lembaga Penjamin Simpanan menyatakan Bank

Syariah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak

diselamatkan, Bank Indonesia atas permintaan Lembaga

Penjamin Simpanan mencabut izin usaha Bank Syariah dan

penanganan lebih lanjut dilakukan oleh Lembaga Penjamin

Simpanan sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.

(4) Atas permintaan Bank Syariah, Bank Indonesia dapat

mencabut izin usaha Bank Syariah setelah Bank Syariah

dimaksud menyelesaikan seluruh kewajibannya.

(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai persyaratan dan tata cara

pencabutan izin usaha Bank Syariah sebagaimana dimaksud

pada ayat (4) diatur dengan Peraturan Bank Indonesia.

BAB IX

PENYELESAIAN SENGKETA

Pasal 55

(1) Penyelesaian sengketa Perbankan Syariah dilakukan oleh

pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama.

(2) Dalam hal para pihak telah memperjanjikan penyelesaian

sengketa selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1),

penyelesaian sengketa dilakukan sesuai dengan isi Akad.

(3) Penyelesaian sengketa sebagaimana dimaksud pada ayat (2)

tidak boleh bertentangan dengan Prinsip Syariah.

BAB X …

– 29 –

BAB X

SANKSI ADMINISTRATIF

Pasal 56

Bank Indonesia menetapkan sanksi administratif kepada Bank

Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota Dewan

Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank Syariah atau

Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS, yang menghalangi

dan/atau tidak melaksanakan Prinsip Syariah dalam

menjalankan usaha atau tugasnya atau tidak memenuhi

kewajibannya sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang

ini.

Pasal 57

(1) Bank Indonesia mengenakan sanksi administratif kepada

Bank Syariah atau UUS, anggota dewan komisaris, anggota

Dewan Pengawas Syariah, direksi, dan/atau pegawai Bank

Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS

yang melanggar Pasal 41 dan Pasal 44.

(2) Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada

ayat (1) tidak mengurangi ketentuan pidana sebagai akibat

dari pelanggaran kerahasiaan bank.

Pasal 58

(1) Sanksi administratif sebagaimana dimaksud dalam Undang-

Undang ini adalah:

a. denda uang;

b. teguran tertulis;

c. penurunan tingkat kesehatan Bank Syariah dan UUS;

d. pelarangan untuk turut serta dalam kegiatan kliring;

e. pembekuan kegiatan usaha tertentu, baik untuk kantor

cabang tertentu maupun untuk Bank Syariah dan UUS

secara keseluruhan;

f. pemberhentian pengurus Bank Syariah dan Bank Umum

Konvensional yang memiliki UUS, dan selanjutnya

menunjuk dan mengangkat pengganti sementara sampai

Rapat Umum Pemegang Saham mengangkat pengganti

yang tetap dengan persetujuan Bank Indonesia;

g. pencantuman …

– 30 –

g. pencantuman anggota pengurus, pegawai, dan

pemegang saham Bank Syariah dan Bank Umum

Konvensional yang memiliki UUS dalam daftar orang

tercela di bidang perbankan; dan/atau

h. pencabutan izin usaha.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan sanksi

administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur

dalam Peraturan Bank Indonesia.

BAB XI

KETENTUAN PIDANA

Pasal 59

(1) Setiap orang yang melakukan kegiatan usaha Bank Syariah,

UUS, atau kegiatan penghimpunan dana dalam bentuk

Simpanan atau Investasi berdasarkan Prinsip Syariah tanpa

izin usaha dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 22 dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15

(lima belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling

banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

(2) Dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

dilakukan oleh badan hukum, penuntutan terhadap badan

hukum dimaksud dilakukan terhadap mereka yang memberi

perintah untuk melakukan perbuatan itu dan/atau yang

bertindak sebagai pemimpin dalam perbuatan itu.

Pasal 60

(1) Setiap orang yang dengan sengaja tanpa membawa perintah

tertulis atau izin dari Bank Indonesia sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 42 dan Pasal 43 memaksa Bank Syariah, UUS,

atau pihak terafiliasi untuk memberikan keterangan,

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun

dan paling lama 4 (empat) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan

paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar

rupiah).

(2) Anggota …

– 31 –

(2) Anggota direksi, komisaris, pegawai Bank Syariah atau Bank

Umum Konvensional yang memiliki UUS, atau Pihak

Terafiliasi lainnya yang dengan sengaja memberikan

keterangan yang wajib dirahasiakan sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 41 dipidana dengan pidana penjara paling

singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 4 (empat) tahun dan

pidana denda paling sedikit Rp4.000.000.000,00 (empat

miliar rupiah) dan paling banyak Rp8.000.000.000,00

(delapan miliar rupiah).

Pasal 61

Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah

atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan

sengaja tidak memberikan keterangan yang wajib dipenuhi

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 44, Pasal 47, dan Pasal 48

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan

paling lama 7 (tujuh) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) dan paling banyak

Rp15.000.000.000,00 (lima belas miliar rupiah).

Pasal 62

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank

Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS

yang dengan sengaja:

a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau

b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan

perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 52

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun

dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling

banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank

Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS

yang lalai:

a. tidak menyampaikan laporan keuangan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 35 ayat (2); dan/atau

b. tidak memberikan keterangan atau tidak melaksanakan

perintah yang wajib dipenuhi sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 52

dipidana . . .

– 32 –

dipidana dengan pidana kurungan paling singkat 1 (satu)

tahun dan paling lama 2 (dua) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan

paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Pasal 63

(1) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank

Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS

yang dengan sengaja:

a. membuat atau menyebabkan adanya pencatatan palsu

dalam pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau

laporan kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi

atau rekening suatu Bank Syariah atau UUS;

b. menghilangkan atau tidak memasukkan atau

menyebabkan tidak dilakukannya pencatatan dalam

pembukuan atau dalam laporan, dokumen atau laporan

kegiatan usaha, dan/atau laporan transaksi atau

rekening suatu Bank Syariah atau UUS; dan/atau

c. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan,

menghapus, atau menghilangkan adanya suatu

pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan,

dokumen atau laporan kegiatan usaha, dan/atau

laporan transaksi atau rekening suatu Bank Syariah

atau UUS, atau dengan sengaja mengubah,

mengaburkan, menghilangkan, menyembunyikan, atau

merusak catatan pembukuan tersebut

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun

dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan pidana denda

paling sedikit Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)

dan paling banyak Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar

rupiah).

(2) Anggota dewan komisaris, direksi, atau pegawai Bank

Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS

yang dengan sengaja:

a. meminta atau menerima, mengizinkan atau menyetujui

untuk menerima suatu imbalan, komisi, uang

tambahan, pelayanan, uang, atau barang berharga

untuk keuntungan pribadinya atau untuk keuntungan

keluarganya, dalam rangka:

1. mendapatkan …

– 33 –

1. mendapatkan atau berusaha mendapatkan bagi

orang lain dalam memperoleh uang muka, bank

garansi, atau fasilitas penyaluran dana dari Bank

Syariah atau UUS;

2. melakukan pembelian oleh Bank Syariah atau UUS

atas surat wesel, surat promes, cek dan kertas

dagang, atau bukti kewajiban lainnya;

3. memberikan persetujuan bagi orang lain untuk

melaksanakan penarikan dana yang melebihi batas

penyaluran dananya pada Bank Syariah atau UUS;

dan/atau

b. tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan

untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS

terhadap ketentuan dalam Undang-undang ini

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun

dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling

banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 64

Pihak Terafiliasi yang dengan sengaja tidak melaksanakan

langkah-langkah yang diperlukan untuk memastikan ketaatan

Bank Syariah atau Bank Umum Konvensional yang memiliki UUS

terhadap ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan

pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 8

(delapan) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp5.000.000.000,00 (lima miliar rupiah) dan paling banyak

Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah).

Pasal 65

Pemegang saham yang dengan sengaja menyuruh anggota dewan

komisaris, direksi, atau pegawai Bank Syariah atau Bank Umum

Konvensional yang memiliki UUS untuk melakukan atau tidak

melakukan tindakan yang mengakibatkan Bank Syariah atau

UUS tidak melaksanakan langkah-langkah yang diperlukan

untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS terhadap

ketentuan dalam Undang-Undang ini dipidana dengan pidana

penjara paling singkat 7 (tujuh) tahun dan paling lama 15 (lima

belas) tahun dan pidana denda paling sedikit

Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) dan paling banyak

Rp200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah).

Pasal 66 . . .

– 34 –

Pasal 66

(1) Anggota direksi atau pegawai Bank Syariah atau Bank

Umum Konvensional yang memiliki UUS yang dengan

sengaja:

a. melakukan perbuatan yang bertentangan dengan

Undang-Undang ini dan perbuatan tersebut telah

mengakibatkan kerugian bagi Bank Syariah atau UUS

atau menyebabkan keadaan keuangan Bank Syariah

atau UUS tidak sehat;

b. menghalangi pemeriksaan atau tidak membantu

pemeriksaan yang dilakukan oleh dewan komisaris atau

kantor akuntan publik yang ditugasi oleh dewan

komisaris;

c. memberikan penyaluran dana atau fasilitas penjaminan

dengan melanggar ketentuan yang berlaku yang

diwajibkan pada Bank Syariah atau UUS, yang

mengakibatkan kerugian sehingga membahayakan

kelangsungan usaha Bank Syariah atau UUS; dan/atau

d. tidak melakukan langkah-langkah yang diperlukan

untuk memastikan ketaatan Bank Syariah atau UUS

terhadap ketentuan Batas Maksimum Pemberian

Penyaluran Dana sebagaimana ditentukan dalam

Undang-Undang ini dan/atau ketentuan yang berlaku

dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun

dan paling lama 5 (lima) tahun dan pidana denda paling

sedikit Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan paling

banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

(2) Anggota direksi dan pegawai Bank Syariah atau Bank Umum

Konvensional yang memiliki UUS yang dengan sengaja

melakukan penyalahgunaan dana Nasabah, Bank Syariah

atau UUS dipidana dengan pidana penjara paling singkat 2

(dua) tahun dan paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana

denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah)

dan paling banyak Rp4.000.000.000,00 (empat miliar

rupiah).

BAB XII …

– 35 –

BAB XII

KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 67

(1) Bank Syariah atau UUS yang telah memiliki izin usaha pada

saat Undang-Undang ini mulai berlaku dinyatakan telah

memperoleh izin usaha berdasarkan Undang-Undang ini.

(2) Bank Syariah atau UUS sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib menyesuaikan dengan ketentuan dalam Undang-

Undang ini paling lama 1 (satu) tahun sejak mulai

berlakunya Undang-Undang ini.

Pasal 68

(1) Dalam hal Bank Umum Konvensional memiliki UUS yang

nilai asetnya telah mencapai paling sedikit 50% (lima puluh

persen) dari total nilai aset bank induknya atau 15 (lima

belas) tahun sejak berlakunya Undang-Undang ini, maka

Bank Umum Konvensional dimaksud wajib melakukan

Pemisahan UUS tersebut menjadi Bank Umum Syariah.

(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai Pemisahan dan sanksi bagi

Bank Umum Konvensional yang tidak melakukan Pemisahan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan

Peraturan Bank Indonesia.

BAB XIII

KETENTUAN PENUTUP

Pasal 69

Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, segala ketentuan

mengenai Perbankan Syariah yang diatur dalam Undang-Undang

Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara

Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 31, Tambahan Lembaran

Negara Republik Indonesia Nomor 3472) sebagaimana telah

diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 182,

Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3790)

beserta peraturan pelaksanaannya dinyatakan tetap berlaku

sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang ini.

Pasal 70

Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar . . .

– 36 –

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan

Undang-Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran

Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta

pada tanggal 16 Juli 2008

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

ttd

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta

pada tanggal 16 Juli 2008

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA

REPUBLIK INDONESIA,

ttd

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 94

Salinan sesuai dengan aslinya

SEKRETARIAT NEGARA RI

Kepala Biro Peraturan Perundang-undangan

Bidang Perekonomian dan Industri,

Setio Sapto Nugroho

PENJELASAN

ATAS

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 21 TAHUN 2008

TENTANG

PERBANKAN SYARIAH

I. UMUM

Sebagaimana diamanatkan oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945, tujuan pembangunan nasional

adalah terciptanya masyarakat adil dan makmur, berdasarkan demokrasi

ekonomi, dengan mengembangkan sistem ekonomi yang bertumpu pada

mekanisme pasar yang berkeadilan. Guna mewujudkan tujuan tersebut,

pelaksanaan pembangunan ekonomi nasional diarahkan pada

perekonomian yang berpihak pada ekonomi kerakyatan, merata, mandiri,

handal, berkeadilan, dan mampu bersaing di kancah perekonomian

internasional.

Agar tercapai tujuan pembangunan nasional dan dapat berperan aktif

dalam persaingan global yang sehat, diperlukan partisipasi dan kontribusi

semua elemen masyarakat untuk menggali berbagai potensi yang ada di

masyarakat guna mendukung proses akselerasi ekonomi dalam upaya

merealisasikan tujuan pembangunan nasional. Salah satu bentuk

penggalian potensi dan wujud kontribusi masyarakat dalam perekonomian

nasional tersebut adalah pengembangan sistem ekonomi berdasarkan nilai

Islam (Syariah) dengan mengangkat prinsip-prinsipnya ke dalam Sistem

Hukum Nasional. Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan,

kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin).

Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang

didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah.

Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang

berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam

adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan

sistem antara lain prinsip bagi hasil. Dengan prinsip bagi hasil, Bank

Syariah dapat menciptakan iklim investasi yang sehat dan adil karena

semua pihak dapat saling berbagi baik keuntungan maupun potensi risiko

yang timbul sehingga akan menciptakan posisi yang berimbang antara

bank dan nasabahnya. Dalam jangka panjang, hal ini akan mendorong

pemerataan ekonomi nasional karena hasil keuntungan tidak hanya

dinikmati oleh pemilik modal saja, tetapi juga oleh pengelola modal.

Perbankan . . .

– 38 –

Perbankan Syariah sebagai salah satu sistem perbankan nasional

memerlukan berbagai sarana pendukung agar dapat memberikan

kontribusi yang maksimum bagi pengembangan ekonomi nasional. Salah

satu sarana pendukung vital adalah adanya pengaturan yang memadai

dan sesuai dengan karakteristiknya. Pengaturan tersebut di antaranya

dituangkan dalam Undang-Undang Perbankan Syariah. Pembentukan

Undang-Undang Perbankan Syariah menjadi kebutuhan dan keniscayaan

bagi berkembangnya lembaga tersebut. Pengaturan mengenai Perbankan

Syariah dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan

sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998

belum spesifik dan kurang mengakomodasi karakteristik operasional

Perbankan Syariah, dimana, di sisi lain pertumbuhan dan volume usaha

Bank Syariah berkembang cukup pesat.

Guna menjamin kepastian hukum bagi stakeholders dan sekaligus

memberikan keyakinan kepada masyarakat dalam menggunakan produk

dan jasa Bank Syariah, dalam Undang-Undang Perbankan Syariah ini

diatur jenis usaha, ketentuan pelaksanaan syariah, kelayakan usaha,

penyaluran dana, dan larangan bagi Bank Syariah maupun UUS yang

merupakan bagian dari Bank Umum Konvensional. Sementara itu, untuk

memberikan keyakinan pada masyarakat yang masih meragukan

kesyariahan operasional Perbankan Syariah selama ini, diatur pula

kegiatan usaha yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah meliputi

kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur-unsur riba, maisir, gharar,

haram, dan zalim.

Sebagai undang-undang yang khusus mengatur perbankan syariah, dalam

Undang-Undang ini diatur mengenai masalah kepatuhan syariah (syariah

compliance) yang kewenangannya berada pada Majelis Ulama Indonesia

(MUI) yang direpresentasikan melalui Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang

harus dibentuk pada masing-masing Bank Syariah dan UUS. Untuk

menindaklanjuti implementasi fatwa yang dikeluarkan MUI ke dalam

Peraturan Bank Indonesia, di dalam internal Bank Indonesia dibentuk

komite perbankan syariah, yang keanggotaannya terdiri atas perwakilan

dari Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat yang

komposisinya berimbang.

Sementara itu, penyelesaian sengketa yang mungkin timbul pada

perbankan syariah, akan dilakukan melalui pengadilan di lingkungan

Peradilan Agama. Di samping itu, dibuka pula kemungkinan penyelesaian

sengketa melalui musyawarah, mediasi perbankan, lembaga arbitrase,

atau melalui pengadilan di lingkungan Peradilan Umum sepanjang

disepakati di dalam Akad oleh para pihak.

Untuk . . .

– 39 –

Untuk menerapkan substansi undang-undang perbankan syariah ini,

maka pengaturan terhadap UUS yang secara korporasi masih berada

dalam satu entitas dengan Bank Umum Konvensional, di masa depan,

apabila telah berada pada kondisi dan jangka waktu tertentu diwajibkan

untuk memisahkan UUS menjadi Bank Umum Syariah dengan memenuhi

tata cara dan persyaratan yang ditetapkan dengan Peraturan Bank

Indonesia.

Sehubungan dengan hal tersebut, pengaturan tersendiri bagi Perbankan

Syariah merupakan hal yang mendesak dilakukan, untuk menjamin

terpenuhinya prinsip-prinsip Syariah, prinsip kesehatan Bank bagi Bank

Syariah, dan yang tidak kalah penting diharapkan dapat memobilisasi

dana dari negara lain yang mensyaratkan pengaturan terhadap Bank

Syariah dalam undang-undang tersendiri.

II. PASAL DEMI PASAL

Pasal 1

Cukup jelas.

Pasal 2

Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain, adalah

kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:

a. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil)

antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak

sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau

dalam transaksi pinjam-meminjam yang mempersyaratkan

Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima

melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);

b. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan

yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;

c. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki,

tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada

saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;

d. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah;

atau

e. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi

pihak lainnya.

Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan

ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan,

pemerataan, dan kemanfaatan.

Yang . . .

– 40 –

Yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman

pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan

yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

Pasal 3

Dalam mencapai tujuan menunjang pelaksanaan pembangunan

nasional, Perbankan Syariah tetap berpegang pada Prinsip Syariah

secara menyeluruh (kaffah) dan konsisten (istiqamah).

Pasal 4

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “dana sosial lainnya”, antara lain

adalah penerimaan Bank yang berasal dari pengenaan sanksi

terhadap Nasabah (ta’zir).

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 5

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Persyaratan yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia

sekurang-kurangnya memuat tentang:

a. susunan organisasi dan kepengurusan;

b. modal kerja;

c. keahlian di bidang Perbankan Syariah; dan

d. kelayakan usaha.

Ayat (4)

Yang diwajibkan mencantumkan kata “syariah” hanya Bank

Syariah yang mendapatkan izin setelah berlakunya Undang-

Undang ini.

Penulisan kata “syariah” ditempatkan setelah kata “bank”

atau setelah nama bank.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Ayat (6) . . .

– 41 –

Ayat (6)

Cukup jelas.

Ayat (7)

Cukup jelas.

Ayat (8)

Cukup jelas.

Ayat (9)

Cukup jelas.

Pasal 6

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Yang dimaksud dengan “kantor di bawah Kantor Cabang”

adalah kantor cabang pembantu atau kantor kas yang

kegiatan usahanya membantu kantor induknya.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 7

Cukup jelas.

Pasal 8

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Hal-hal yang dapat diatur dalam Peraturan Bank Indonesia

antara lain:

a. pemberhentian anggota direksi dan komisaris yang tidak

lulus uji kemampuan dan kepatutan;

b. pengalihan kepemilikan saham pengendali bank yang

harus mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;

c. pengalihan . . .

. . .

– 42 –

c. pengalihan izin usaha dari nama lama ke nama baru,

perubahan modal dasar, dan perubahan status menjadi

Bank terbuka harus mendapatkan persetujuan Bank

Indonesia;

d. perubahan modal disetor Bank yang meliputi

penambahan, pengurangan, dan komposisi harus

mendapatkan persetujuan Bank Indonesia;

e. pelarangan penjaminan saham yang dimiliki oleh

pemegang saham pengendali.

Pasal 9

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Dalam hal salah satu pihak yang akan mendirikan

Bank Umum Syariah adalah badan hukum asing, yang

bersangkutan terlebih dahulu harus memperoleh

rekomendasi dari otoritas perbankan negara asal.

Rekomendasi dimaksud sekurang-kurangnya memuat

keterangan bahwa badan hukum asing yang

bersangkutan mempunyai reputasi yang baik dan tidak

pernah melakukan perbuatan tercela di bidang

perbankan.

Huruf c

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 10

Cukup jelas.

Pasal 11

Cukup jelas.

Pasal 12

Cukup jelas.

Pasal 13 . . .

– 43 –

Pasal 13

Cukup jelas.

Pasal 14

Cukup jelas.

Pasal 15

Perubahan kepemilikan Bank Syariah yang tidak mengakibatkan

perubahan pemegang saham pengendali cukup dilaporkan secara

tertulis kepada Bank Indonesia.

Pasal 16

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pokok-pokok pengaturan dalam Peraturan Bank Indonesia

mencakup antara lain:

a. minimum kecukupan modal;

b. persiapan sumber daya manusia;

c. susunan organisasi dan kepengurusan; dan

d. kelayakan usaha.

Pasal 17

Cukup jelas.

Pasal 18

Cukup jelas.

Pasal 19

Ayat (1)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “Akad wadi’ah” adalah Akad

penitipan barang atau uang antara pihak yang

mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi

kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga

keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau

uang.

Huruf b . . .

– 44 –

Huruf b

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam

menghimpun dana adalah Akad kerja sama antara

pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Nasabah)

sebagai pemilik dana dan pihak kedua (‘amil,

mudharib, atau Bank Syariah) yang bertindak sebagai

pengelola dana dengan membagi keuntungan usaha

sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan dalam

Akad.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “Akad mudharabah” dalam

Pembiayaan adalah Akad kerja sama suatu usaha

antara pihak pertama (malik, shahibul mal, atau Bank

Syariah) yang menyediakan seluruh modal dan pihak

kedua (‘amil, mudharib, atau Nasabah) yang bertindak

selaku pengelola dana dengan membagi keuntungan

usaha sesuai dengan kesepakatan yang dituangkan

dalam Akad, sedangkan kerugian ditanggung

sepenuhnya oleh Bank Syariah kecuali jika pihak

kedua melakukan kesalahan yang disengaja, lalai atau

menyalahi perjanjian.

Yang dimaksud dengan “Akad musyarakah” adalah

Akad kerja sama di antara dua pihak atau lebih untuk

suatu usaha tertentu yang masing-masing pihak

memberikan porsi dana dengan ketentuan bahwa

keuntungan akan dibagi sesuai dengan kesepakatan,

sedangkan kerugian ditanggung sesuai dengan porsi

dana masing-masing.

Huruf d

Yang dimaksud dengan “Akad murabahah” adalah

Akad Pembiayaan suatu barang dengan menegaskan

harga belinya kepada pembeli dan pembeli

membayarnya dengan harga yang lebih sebagai

keuntungan yang disepakati.

Yang dimaksud dengan “Akad salam” adalah Akad

Pembiayaan suatu barang dengan cara pemesanan dan

pembayaran harga yang dilakukan terlebih dahulu

dengan syarat tertentu yang disepakati.

Yang dimaksud dengan “Akad istishna’ ” adalah Akad

Pembiayaan barang dalam bentuk pemesanan

pembuatan barang tertentu dengan kriteria dan

persyaratan tertentu yang disepakati antara pemesan

atau pembeli (mustashni’) dan penjual atau pembuat

(shani’).

Huruf e . . .

– 45 –

Huruf e

Yang dimaksud dengan “Akad qardh” adalah Akad

pinjaman dana kepada Nasabah dengan ketentuan

bahwa Nasabah wajib mengembalikan dana yang

diterimanya pada waktu yang telah disepakati.

Huruf f

Yang dimaksud dengan “Akad ijarah” adalah Akad

penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak

guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa

berdasarkan transaksi sewa, tanpa diikuti dengan

pemindahan kepemilikan barang itu sendiri.

Yang dimaksud dengan “Akad ijarah muntahiya

bittamlik” adalah Akad penyediaan dana dalam rangka

memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu

barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan

opsi pemindahan kepemilikan barang.

Huruf g

Yang dimaksud dengan “Akad hawalah” adalah Akad

pengalihan utang dari pihak yang berutang kepada

pihak lain yang wajib menanggung atau membayar.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Yang dimaksud dengan “transaksi nyata” adalah

transaksi yang dilandasi dengan aset yang berwujud.

Yang dimaksud dengan “Akad kafalah” adalah Akad

pemberian jaminan yang diberikan satu pihak kepada

pihak lain, di mana pemberi jaminan (kafil)

bertanggung jawab atas pembayaran kembali utang

yang menjadi hak penerima jaminan (makful).

Huruf j

Cukup jelas.

Huruf k

Cukup jelas.

Huruf l

Cukup jelas.

Huruf m

Cukup jelas.

Huruf n . . .

– 46 –

Huruf n

Cukup jelas.

Huruf o

Yang dimaksud dengan “Akad wakalah” adalah Akad

pemberian kuasa kepada penerima kuasa untuk

melaksanakan suatu tugas atas nama pemberi kuasa.

Huruf p

Cukup jelas.

Huruf q

Yang dimaksud dengan “kegiatan lain” adalah, antara

lain, melakukan fungsi sosial dalam bentuk menerima

dan menyalurkan dana zakat, infak, sedekah, serta

dana kebajikan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 20

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “penyertaan modal” adalah

penanaman dana Bank Umum Syariah dalam bentuk

saham pada perusahaan yang bergerak dalam bidang

keuangan syariah, termasuk penanaman dana dalam

bentuk surat berharga yang dapat dikonversi menjadi

saham (convertible bonds) atau jenis transaksi tertentu

berdasarkan Prinsip Syariah yang berakibat Bank

Umum Syariah memiliki atau akan memiliki saham

pada perusahaan yang bergerak dalam bidang

keuangan syariah.

Huruf c

Yang dimaksud dengan “penyertaan modal sementara”

adalah penyertaan modal Bank Umum Syariah, antara

lain, berupa pembelian saham dan/atau konversi

pembiayaan menjadi saham dalam perusahaan

Nasabah untuk mengatasi kegagalan penyaluran dana

dan/atau piutang dalam jangka waktu tertentu

sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Bank

Indonesia.

Huruf d . . .

– 47 –

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Cukup jelas.

Huruf i

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 21

Cukup jelas.

Pasal 22

Cukup jelas.

Pasal 23

Ayat (1)

Kemauan berkaitan dengan iktikad baik dari Nasabah

Penerima Fasilitas untuk membayar kembali penggunaan

dana yang disalurkan oleh Bank Syariah dan/atau UUS.

Kemampuan berkaitan dengan keadaan dan/atau aset

Nasabah Penerima Fasilitas sehingga mampu untuk

membayar kembali penggunaan dana yang disalurkan oleh

Bank Syariah dan/atau UUS.

Ayat (2) . . .

– 48 –

Ayat (2)

Penilaian watak calon Nasabah Penerima Fasilitas terutama

didasarkan kepada hubungan yang telah terjalin antara

Bank Syariah dan/atau UUS dan Nasabah atau calon

Nasabah yang bersangkutan atau informasi yang diperoleh

dari pihak lain yang dapat dipercaya sehingga Bank Syariah

dan/atau UUS dapat menyimpulkan bahwa calon Nasabah

Penerima Fasilitas yang bersangkutan jujur, beriktikad baik,

dan tidak menyulitkan Bank Syariah dan/atau UUS di

kemudian hari.

Penilaian kemampuan calon Nasabah Penerima Fasilitas

terutama Bank harus meneliti tentang keahlian Nasabah

Penerima Fasilitas dalam bidang usahanya dan/atau

kemampuan manajemen calon Nasabah sehingga Bank

Syariah dan/atau UUS merasa yakin bahwa usaha yang

akan dibiayai dikelola oleh orang yang tepat.

Penilaian terhadap modal yang dimiliki calon Nasabah

Penerima Fasilitas, terutama Bank Syariah dan/atau UUS

harus melakukan analisis terhadap posisi keuangan secara

keseluruhan, baik untuk masa yang telah lalu maupun

perkiraan untuk masa yang akan datang sehingga dapat

diketahui kemampuan permodalan calon Nasabah Penerima

Fasilitas dalam menunjang pembiayaan proyek atau usaha

calon Nasabah yang bersangkutan.

Dalam melakukan penilaian terhadap Agunan, Bank Syariah

dan/atau UUS harus menilai barang, proyek atau hak tagih

yang dibiayai dengan fasilitas Pembiayaan yang

bersangkutan dan barang lain, surat berharga atau garansi

risiko yang ditambahkan sebagai Agunan tambahan, apakah

sudah cukup memadai sehingga apabila Nasabah Penerima

Fasilitas kelak tidak dapat melunasi kewajibannya, Agunan

tersebut dapat digunakan untuk menanggung pembayaran

kembali Pembiayaan dari Bank Syariah dan/atau UUS yang

bersangkutan.

Penilaian terhadap proyek usaha calon Nasabah Penerima

Fasilitas, Bank Syariah terutama harus melakukan analisis

mengenai keadaan pasar, baik di dalam maupun di luar

negeri, baik untuk masa yang telah lalu maupun yang akan

datang sehingga dapat diketahui prospek pemasaran dari

hasil proyek atau usaha calon Nasabah yang akan dibiayai

dengan fasilitas Pembiayaan.

Pasal 24 . . .

– 49 –

Pasal 24

Ayat (1)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Bank Umum Syariah dapat memasarkan produk

asuransi melalui kerja sama dengan perusahaan

asuransi yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan

Prinsip Syariah. Semua tindakan Bank Umum Syariah

yang berkaitan dengan transaksi asuransi yang

dipasarkan melalui kerja sama dimaksud menjadi

tanggung jawab perusahaan asuransi syariah.

Ayat (2)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

UUS dapat memasarkan produk asuransi melalui kerja

sama dengan perusahaan asuransi yang melakukan

kegiatan usaha berdasrkan Prinsip Syariah. Semua

tindakan UUS yang berkaitan dengan transaksi

asuransi yang dipasarkan melalui kerja sama

dimaksud menjadi tanggung jawab perusahaan

asuransi syariah.

Pasal 25

Huruf a

Usaha yang bertentangan dengan Prinsip Syariah antara lain

usaha yang dianggap riba, maisir, gharar, haram, dan zalim.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c . . .

– 50 –

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Bank Pembiayaan Rakyat Syariah dapat memasarkan produk

asuransi melalui kerja sama dengan perusahaan asuransi

syariah. Semua tindakan Bank yang berkaitan dengan

transaksi asuransi yang dipasarkan melalui kerja sama

dimaksud menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi

syariah.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Pasal 26

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Komite perbankan syariah beranggotakan unsur-unsur dari

Bank Indonesia, Departemen Agama, dan unsur masyarakat

dengan komposisi yang berimbang, memiliki keahlian di

bidang syariah dan berjumlah paling banyak 11 (sebelas)

orang.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 27

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pemegang saham pengendali”

adalah badan hukum, orang perseorangan, dan/atau

kelompok usaha yang:

a. memiliki saham Bank Syariah sebesar 25% (dua puluh

lima persen) atau lebih dari jumlah saham yang

dikeluarkan dan memperoleh hak suara; atau

b. memiliki . . .

– 51 –

b. memiliki saham perusahaan atau Bank kurang dari 25%

(dua puluh lima persen) dari jumlah saham yang

dikeluarkan dan mempunyai hak suara, tetapi yang

bersangkutan dapat dibuktikan telah melakukan

pengendalian perusahaan atau bank, baik secara

langsung maupun tidak langsung.

Pengendalian merupakan suatu tindakan yang bertujuan

untuk memengaruhi pengelolaan dan/atau kebijakan

perusahaan, termasuk bank, dengan cara apa pun, baik

secara langsung maupun tidak langsung.

Pengendalian terhadap Bank Syariah dapat dilakukan

dengan cara-cara, antara lain, sebagai berikut:

a. memiliki secara sendiri-sendiri atau bersama-sama 25%

(dua puluh lima persen) atau lebih saham Bank;

b. secara langsung menjalankan manajemen dan/atau

memengaruhi kebijakan Bank Syariah;

c. memiliki hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki saham

yang apabila digunakan akan menyebabkan pihak

tersebut memiliki dan/atau mengendalikan secara

sendiri-sendiri atau bersama-sama 25% (dua puluh lima

persen) atau lebih saham Bank;

d. melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk

mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank

(acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis

dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama

memiliki dan/atau mengendalikan 25% (dua puluh lima

persen) atau lebih saham Bank Syariah, baik langsung

maupun tidak langsung dengan atau tanpa perjanjian

tertulis;

e. melakukan kerja sama atau tindakan yang sejalan untuk

mencapai tujuan bersama dalam mengendalikan Bank

(acting in concert) dengan atau tanpa perjanjian tertulis

dengan pihak lain sehingga secara bersama-sama

mempunyai hak opsi atau hak lainnya untuk memiliki

saham, yang apabila hak tersebut dilaksanakan

menyebabkan pihak-pihak tersebut memiliki dan/atau

mengendalikan 25% (dua puluh lima persen) atau lebih

saham Bank Syariah;

f. mengendalikan satu atau lebih perusahaan lain yang

secara keseluruhan memiliki dan/atau mengendalikan

secara bersama-sama 25% (dua puluh lima persen) atau

lebih saham Bank;

g. mempunyai . . .

– 52 –

g. mempunyai kewenangan untuk menyetujui dan/atau

memberhentikan pengurus Bank Syariah;

h. secara tidak langsung memengaruhi atau menjalankan

manajemen dan/atau kebijakan Bank Syariah;

i. melakukan pengendalian terhadap perusahaan induk

atau perusahaan induk di bidang keuangan dari Bank

Syariah; dan/atau

j. melakukan pengendalian terhadap pihak yang melakukan

pengendalian sebagaimana dimaksud pada huruf a

sampai dengan huruf i.

Uji kemampuan dan kepatutan sepenuhnya merupakan

kewenangan Bank Indonesia untuk menilai kompetensi,

integritas, dan kemampuan keuangan pemegang saham

pengendali dan/atau pengurus bank. Mengingat tujuan uji

kemampuan dan kepatutan adalah untuk memperoleh

pemegang saham pengendali dan pengurus bank yang dapat

menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan,

penilaian dalam rangka uji kemampuan dan kepatutan oleh

Bank Indonesia tidak perlu dipertanggungjawabkan.

Ayat (2)

Kewajiban menurunkan kepemilikan saham bagi Pemilik

Bank yang tidak lulus uji kemampuan dan kepatutan adalah

dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dinyatakan tidak

lulus uji kemampuan dan kepatutan.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 28

Yang termasuk dalam pengertian peraturan perundang-undangan

adalah Peraturan Bank Indonesia.

Pokok-pokok pengaturan tugas direksi Bank Syariah dalam

anggaran dasar antara lain:

a. tugas dan tanggung jawab;

b. pelaporan; dan

c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 29 . . .

– 53 –

Pasal 29

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Pokok-pokok pengaturan tugas direktur adalah:

a. tugas dan tanggung jawab;

b. pelaporan; dan

c. perlindungan dalam pelaksanaan tugas.

Pasal 30

Ayat (1)

Uji kemampuan dan kepatutan bertujuan untuk menjamin

kompetensi, kredibilitas, integritas, dan pelaksanaan tata

kelola yang sehat (good corporate governance) dari pemilik,

pengurus bank, dan pengawas syariah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 31

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pejabat eksekutif” adalah pejabat

yang bertanggung jawab langsung kepada direksi dan/atau

mempunyai pengaruh terhadap kebijakan dan operasional

Bank Syariah seperti kepala divisi, pemimpin Kantor Cabang,

atau kepala satuan kerja audit internal.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 32

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3) . . .

– 54 –

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Yang diatur dalam Peraturan Bank Indonesia sekurangkurangnya

meliputi:

a. ruang lingkup, tugas, dan fungsi dewan pengawas

syariah;

b. jumlah anggota dewan pengawas syariah;

c. masa kerja;

d. komposisi keahlian;

e. maksimal jabatan rangkap; dan

f. pelaporan dewan pengawas syariah.

Pasal 33

Cukup jelas.

Pasal 34

Cukup jelas.

Pasal 35

Ayat (1)

Dalam rangka menjamin terlaksananya pengambilan

keputusan dalam pengelolaan bank yang sesuai dengan

prinsip kehati-hatian, Bank memiliki dan menerapkan,

antara lain, sistem pengawasan intern.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “prinsip akuntansi syariah yang

berlaku umum” adalah standar akuntansi syariah yang

ditetapkan oleh lembaga yang berwenang.

Ayat (3)

Kantor akuntan publik yang dimaksud adalah kantor

akuntan publik yang memiliki akuntan dengan keahlian

bidang akuntansi syariah.

Ayat (4)

Dalam memberikan pengecualian, Bank Indonesia

memperhatikan kemampuan Bank Pembiayaan Rakyat

Syariah yang bersangkutan.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 36 . . .

– 55 –

Pasal 36

Cukup jelas.

Pasal 37

Ayat (1)

Penyaluran dana berdasarkan Prinsip Syariah oleh Bank

Syariah dan UUS mengandung risiko kegagalan atau

kemacetan dalam pelunasannya sehingga dapat berpengaruh

terhadap kesehatan Bank Syariah dan UUS. Mengingat

bahwa penyaluran dana dimaksud bersumber dari dana

masyarakat yang disimpan pada Bank Syariah dan UUS,

risiko yang dihadapi Bank Syariah dan UUS dapat

berpengaruh pula kepada keamanan dana masyarakat

tersebut.

Oleh karena itu, untuk memelihara kesehatan dan

meningkatkan daya tahannya, bank diwajibkan menyebar

risiko dengan mengatur penyaluran kredit atau pemberian

pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah, pemberian

jaminan ataupun fasilitas lain sedemikian rupa sehingga

tidak terpusat pada Nasabah debitur atau kelompok Nasabah

debitur tertentu.

Ayat (2)

Pengertian “modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” sesuai dengan

pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan

bank.

Batas maksimum yang dimaksud diperuntukkan bagi

masing-masing Nasabah Penerima Fasilitas atau sekelompok

Nasabah Penerima Fasilitas termasuk perusahaanperusahaan

dalam kelompok yang sama.

Ayat (3)

Huruf a

Cukup jelas.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d . . .

– 56 –

Huruf d

Yang dimaksud dengan “keluarga” adalah hubungan

sampai dengan derajat kedua, baik menurut garis

keturunan lurus maupun ke samping termasuk

mertua, menantu, dan ipar.

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pengertian “modal Bank Syariah sesuai dengan ketentuan

yang ditetapkan oleh Bank Indonesia” sesuai dengan

pengertian yang dipergunakan dalam penilaian kesehatan

bank.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 38

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “manajemen risiko” adalah

serangkaian prosedur dan metodologi yang digunakan oleh

perbankan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau,

dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usaha

bank.

Prinsip mengenal Nasabah (know your customer principle)

merupakan prinsip yang harus diterapkan oleh perbankan

yang sekurang-kurangnya mencakup kegiatan penerimaan

dan identifikasi Nasabah serta pemantauan kegiatan

transaksi Nasabah, termasuk pelaporan transaksi yang

mencurigakan.

Perlindungan Nasabah dilakukan antara lain dengan cara

adanya mekanisme pengaduan Nasabah, meningkatkan

transparansi produk, dan edukasi terhadap Nasabah.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 39

Penjelasan yang diberikan kepada Nasabah mengenai

kemungkinan timbulnya risiko kerugian Nasabah dimaksudkan

untuk menjamin transparansi produk dan jasa Bank.

Apabila informasi tersebut telah disediakan, Bank dianggap telah

melaksanakan ketentuan ini.

Pasal 40 . . .

– 57 –

Pasal 40

Ayat (1)

Pembelian Agunan oleh Bank melalui pelelangan

dimaksudkan untuk membantu Bank agar dapat

mempercepat penyelesaian kewajiban Nasabah Penerima

Fasilitasnya. Dalam hal bank sebagai pembeli Agunan

Nasabah Penerima Fasilitasnya, status Bank adalah sama

dengan pembeli bukan Bank lainnya.

Bank dimungkinkan membeli Agunan di luar pelelangan

dimaksudkan agar dapat mempercepat penyelesaian

kewajiban Nasabah Penerima Fasilitasnya.

Batas waktu 1 (satu) tahun dengan memperhitungkan

pemulihan kondisi likuiditas Bank dan batas waktu ini

merupakan jangka waktu yang wajar untuk menjual aset

Bank.

Agunan yang dapat dibeli oleh Bank adalah Agunan yang

pembiayaannya telah dikategorikan macet selama jangka

waktu tertentu.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Pokok-pokok ketentuan yang diatur lebih lanjut dengan

Peraturan Bank Indonesia memuat antara lain:

a. Agunan yang dapat dibeli oleh Bank Syariah dan UUS

adalah Agunan yang pembiayaannya telah dikategorikan

macet selama jangka waktu tertentu;

b. Jangka waktu pencairan Agunan yang telah dibeli.

Pasal 41

Cukup jelas.

Pasal 42

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “memperlihatkan bukti tertulis”,

termasuk menyampaikan keterangan atau fotokopi.

Ayat (2) . . .

– 58 –

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 43

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “pimpinan instansi yang diberi

wewenang untuk melakukan penyidikan” adalah pimpinan

departemen atau lembaga pemerintah nondepartemen

setingkat menteri.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 44

Cukup jelas.

Pasal 45

Cukup jelas.

Pasal 46

Cukup jelas.

Pasal 47

Cukup jelas.

Pasal 48

Cukup jelas.

Pasal 49

Cukup jelas.

Pasal 50

Pembinaan yang dilakukan Bank Indonesia, antara lain, mengenai

aspek kelembagaan, kepemilikan dan kepengurusan (termasuk uji

kemampuan dan kepatutan), kegiatan usaha, pelaporan, serta

aspek lain yang berhubungan dengan kegiatan operasional Bank

Syariah dan UUS.

Pengawasan . . .

– 59 –

Pengawasan bank meliputi pengawasan tidak langsung (off-site

supervision) atas dasar laporan Bank dan pengawasan langsung

(on-site supervision) dalam bentuk pemeriksaan di kantor bank

yang bersangkutan.

Pasal 51

Ayat (1)

Bank Syariah dan UUS perlu menjaga tingkat kesehatannya

dalam rangka memelihara kepercayaan masyarakat.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 52

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Huruf a

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” adalah segala

jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun

elektronis, yang terkait dengan objek pengawasan

Bank Indonesia.

Yang dimaksud dengan “setiap tempat yang terkait

dengan Bank” adalah setiap bagian ruangan dari

kantor bank dan tempat lain di luar bank yang terkait

dengan objek pengawasan Bank Indonesia.

Huruf b

Yang dimaksud dengan “data/dokumen” adalah segala

jenis data atau dokumen, baik tertulis maupun

elektronis yang terkait dengan objek pengawasan Bank

Indonesia.

Yang dimaksud dengan “setiap pihak” adalah orang

atau badan hukum yang memiliki pengaruh terhadap

pengambilan keputusan dan operasional Bank, baik

langsung maupun tidak langsung, antara lain, ultimate

shareholder atau pihak tertentu yang namanya tidak

tercantum sebagai pegawai, pengurus atau pemegang

saham bank tetapi dapat memengaruhi kegiatan

operasional bank atau keputusan manajemen bank.

Huruf c . . .

– 60 –

Huruf c

Yang dimaksud dengan “rekening Simpanan maupun

rekening Pembiayaan” adalah rekening-rekening, baik

yang ada pada Bank yang diawasi/diperiksa maupun

pada Bank lain, yang terkait dengan objek

pengawasan/pemeriksaan Bank Indonesia.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Pasal 53

Ayat (1)

Yang dimaksud dengan “pihak lainnya” adalah pihak yang

menurut penilaian Bank Indonesia memiliki kompetensi

untuk melaksanakan pemeriksaan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 54

Ayat (1)

Keadaan suatu Bank dikatakan mengalami kesulitan yang

membahayakan kelangsungan usahanya apabila

berdasarkan penilaian Bank Indonesia, kondisi usaha Bank

semakin memburuk, antara lain, ditandai dengan

menurunnya permodalan, kualitas aset, likuiditas, dan

rentabilitas, serta pengelolaan Bank yang tidak dilakukan

berdasarkan prinsip kehati-hatian dan asas perbankan yang

sehat.

Huruf a

Yang dimaksud dengan “membatasi kewenangan”

antara lain pembatasan keputusan pemberian bonus

(tantiem), pemberian dividen kepada pemilik Bank,

atau kenaikan gaji bagi pegawai dan pengurus.

Huruf b

Cukup jelas.

Huruf c

Cukup jelas.

Huruf d

Cukup jelas.

Huruf e . . .

– 61 –

Huruf e

Cukup jelas.

Huruf f

Cukup jelas.

Huruf g

Cukup jelas.

Huruf h

Yang dimaksud dengan “pihak lain” adalah pihak di

luar Bank yang bersangkutan, baik Bank lain, badan

usaha lain, maupun individu yang memenuhi

persyaratan.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Ayat (4)

Cukup jelas.

Ayat (5)

Cukup jelas.

Pasal 55

Ayat (1)

Cukup jelas.

Ayat (2)

Yang dimaksud dengan “penyelesaian sengketa dilakukan

sesuai dengan isi Akad” adalah upaya sebagai berikut:

a. musyawarah;

b. mediasi perbankan;

c. melalui Badan Arbitrase Syariah Nasional (Basyarnas)

atau lembaga arbitrase lain; dan/atau

d. melalui pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum.

Ayat (3)

Cukup jelas.

Pasal 56 . . .

– 62 –

Pasal 56

Pada dasarnya sanksi administratif dikenakan terhadap anggota

komisaris atau anggota direksi secara personal yang melakukan

kesalahan, tetapi tidak menutup kemungkinan sanksi administratif

dikenakan secara kolektif apabila kesalahan tersebut dilakukan

secara kolektif.

Pasal 57

Cukup jelas.

Pasal 58

Cukup jelas.

Pasal 59

Cukup jelas.

Pasal 60

Cukup jelas.

Pasal 61

Cukup jelas.

Pasal 62

Cukup jelas.

Pasal 63

Cukup jelas.

Pasal 64

Cukup jelas.

Pasal 65

Cukup jelas.

Pasal 66

Cukup jelas.

Pasal 67 . . .

– 63 –

Pasal 67

Ayat (1)

UUS yang telah memiliki izin usaha dalam ketentuan ini

adalah UUS yang sudah ada berdasarkan izin pembukaan

Kantor Cabang Syariah pada Bank Umum Konvensional.

Ayat (2)

Cukup jelas.

Pasal 68

Cukup jelas.

Pasal 69

Cukup jelas.

Pasal 70

Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4867